Siapa yang tidak mengenal Silicon Valley? Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, masyarakat modern pasti cukup familiar dengan nama wilayah di Amerika Serikat ini. Wilayah ini merupakan pusat teknologi dan inovasi tersohor di dunia yang telah melahirkan berbagai perusahaan hi-tech terbesar di dunia dan ribuan perusahaan start-up.
Ada seorang pria berdarah Bangka-Kalimantan yang pernah berkarier di sana, bahkan lebih dari 10 tahun. Dia adalah Ferry Sutanto. Ferry bekerja di bidang teknologi digital, setelah sebelumnya ia memulai karir di dunia teknologi digital di Austin, Texas selama lebih dari 5 tahun.
Ferry sendiri bercerita kariernya telah banyak malang melintang hingga kini membangun startup sendiri bernama G2Academy, sebuah inovasi teknologi di bidang pendidikan atau edutech. Bagaimana ceritanya?
Pria kelahiran 1973 ini mengaku passionnya di dunia teknologi telah terlihat sejak masa remaja, tepatnya sejak kelas 3 SMP, ketika ia pertama kali merasakan serunya bermain game simulasi basket di rumah temannya.
Anak pertama dari empat bersaudara ini mengaku sudah punya karakter geek dan suka belajar sejak kecil. Pola didik orang tuanya yang tidak terlalu menuntut dalam urusan akademis, tidak dijadikannya alasan untuknya bermalas-malasan, alih-alih menumbuhkan inisiatifnya untuk mencari tahu dan belajar sendiri.
"Setiap saya main game, saya selalu penasaran bagaimana cara pembuatan dan pengembangannya. Masalahnya saat itu tidak ada buku-buku seputar pemrograman pembuatan game yang dijual di pasaran, sehingga saya lebih sering bereksplorasi dengan membongkar barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai," ujar Ferry kepada detikcom belum lama ini.
Guna memuaskan rasa ingin tahunya, Ferry pun menekuni kursus pemrograman di Pertokoan Duta Merlin, Jakarta Utara. Kata Ferry, dulu itu satu-satunya tempat kursus pemrograman di Jakarta. "Sudah lama sekali. Bahkan di zaman tersebut sistem operasi komputer masih menggunakan DOS. Tapi saya sangat menikmatinya pada masa itu," katanya.
Waktu lulus SMA, sekitar tahun 1991, ia mengaku mendapatkan firasat bahwa suatu hari nanti komputer akan ada dimana-mana dan menjadi kebutuhan semua orang di dunia. Itu sebabnya tidak berpikir panjang untuk menentukan bahwa computer science adalah jurusan yang akan dia tekuni selama kuliah. Keputusan ini menimbulkan pertentangan dan pertanyaan dari orang tuanya, seperti "Mengapa komputer?", "Masa depannya nanti bagaimana?", dan "Mau kerja apa?"; namun tidak mengecilkan niatnya.
"Saya merasa seperti terpanggil. Saat itu saya tidak takut sama sekali kalau nantinya akan ada pekerjaan untuk saya atau tidak. Saya hanya percaya dengan firasat saya karena saya yakin di situlah tempat saya," lanjut Ferry.
Ferry kemudian mendapatkan kesempatan untuk bisa kuliah di Amerika Serikat (AS). Ia mendaftarkan diri dan belajar di George Washington University di Washington D.C. selama setahun lalu kemudian pindah ke The University of Texas, Austin, Texas hingga lulus S1.
Pasalnya, secara peringkat dalam jurusan computer science universitas tersebut lebih bagus daripada universitas yang pertama ia masuki, ujar Ferry. Di fase awal pindah ke Amerika seorang diri, Ia mengaku Bahasa Inggris cukup pas-pasan.
"Tahun pertama saya disana, itu adalah struggle terbesar saya. Bahasa Inggris pas-pasan, sendirian pula. Sampai-sampai saya sempat membuat target bahwa teman-teman saya disana harus orang bule, agar memaksa saya untuk belajar Bahasa Inggris," cerita Ferry sambil tertawa.
Selama kuliah, ia kerap mencari lowongan magang paruh waktu melalui informasi di koran-koran, bulletin, dan media informasi lainnya, dan kemudian mendapatkan kesempatannya di Metrowerks, Texas sebagai tech support, sebuah perusahaan yang menyediakan perangkat pengembang software untuk berbagai macam desktop, handheld, embedded, dan juga gaming platforms. Setelah magang, Ferry kemudian diangkat menjadi karyawan dengan posisi quality assurance dan junior developer.
Ia kemudian berhenti setelah lima (5) tahun menjalani karier pertamanya di Metrowerks. Alasannya karena ingin pindah ke Silicon Valley. Sempat terkejut karena ternyata permintaan akan talenta digital di Silicon Valley sangat tinggi, ia akhirnya menciptakan roadmap kariernya. Ferry merasa perlu untuk menavigasikan langkahnya dalam berkarier dan memutuskan akan bekerja dimana. Redback Networks adalah tempatnya berlabuh kemudian.
Redback Networks adalah sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan oleh Penyedia Layanan Internet (ISP) untuk mengelola layanan broadband dan kini telah menjadi anak perusahaan Ericsson. Di situ Ia bekerja sebagai Senior Software Engineer selama 6 tahun 8 bulan dan kemudian pindah ke Cisco System sebagai Technical Leader selama 4 tahun 5 bulan.
Lanjut halaman berikutnya.
(fdl/fdl)