Sempat Gagal Bangun Startup
Setelah menghabiskan hampir 11 tahun di Silicon Valley, ia merasa membutuhkan tantangan baru dengan tanggung jawab yang lebih besar. Di momen yang sama, kebetulan ia bertemu dengan beberapa eksekutif dari Grup Djarum yang sedang menghadiri konferensi teknologi di Silicon Valley.
Lewat pertemuan itu, ia mulai berpikir mempertimbangkan Indonesia sebagai labuhan berikutnya untuk mendapatkan tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Saat pulang ke Indonesia, Ferry tidak langsung membangun G2Academy. Ia terlebih dulu bekerja merintis startup e-commerce Blibli.com sebagai Head of Technology.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada fase awal, masih banyak sekali tantangan yang dihadapi, seperti contohnya software dari vendor yang belum memadai, sehingga kami harus putar otak dan akhirnya saya tantang tim untuk mengembangkan e-commerce engine sendiri. Itu kami lakukan dalam payung project research & development. Ternyata hasilnya memuaskan sekali. Terbukti ketika switch ke engine yang baru, tidak ada yang tahu sama sekali saking smoothnya. Buat saya ini merupakan moment yang tidak akan terlupakan," katanya.
Ferry bekerja di Blibli selama hampir empat tahun hingga akhirnya memutuskan untuk membangun start-up sendiri. Ia membangun sebuah e-commerce bernama grya.co.id. Namun dengan banyaknya startup-startup baru yang muncul dengan berbagai fitur yang menarik, membuat bisnisnya tidak berjalan lancar.
Meskipun begitu, Ferry tidak menyerah untuk membangun usahanya sendiri. Hingga pada suatu hari ia bertemu seseorang yang menawarkan dirinya berkolaborasi untuk membangun sebuah sekolah coding untuk talenta-talenta Indonesia yang ingin 'melek' dengan dunia teknologi, dan disitulah cikal bakal terciptanya G2Academy. Saat itu, ia sembari bekerja sebagai Chief Technology Officer Consultant di SiCepat Ekspress dan LakuEmas Indonesia.
"Awal lahirnya G2Academy, tentu tidak langsung menjadi seperti sekarang. Pada tahun 2018 kala itu, perjalanan saya membangun G2Academy dimulai dari trial, membuat kelas-kelas pendek, mencari pendanaan, dsb. Ternyata semua berjalan mulus dan tahun 2018 G2Academy mulai mendapatkan pendanaan dari Ancora Capital di bawah kepemimpinan Gita Wirjawan. Pada tahun 2020, di masa COVID 19 melanda, kami bertahan melalui beberapa pilar bisnis kami, yaitu menjadi mitra PraKerja dan menjalankan corporate training," ujar Ferry sumringah.
Awalnya, bisnis G2Academy juga belum mencakup penyediaan inovasi/solusi teknologi. "Hal itu terjadi tanpa disengaja, sebenarnya. Seiring G2Academy berjalan dengan corporate training dan kelas-kelas edukasi, ternyata kami kerap mendapatkan proyek-proyek di luar pendidikan/pelatihan, dan ternyata menguntungkan. Dan jika saya boleh jujur, salah satu kunci G2Academy bertahan di tengah startup winter adalah karena adanya diversified revenue stream, dalam arti lain, kami tidak hanya mengandalkan satu pilar bisnis saja," lanjut Ferry.
G2Academy, yang dulunya hanya digawangi oleh Ferry Sutanto sendiri, bersama dengan 4 orang freelancer lainnya yang terdiri dari 1 orang web designer, 2 orang guru/mentor, 1 staff marketing, saat ini telah menaungi 100 orang lebih karyawan.
"Jika ditanya saya ingin G2Academy kemana lagi setelah ini? Tentunya harapannya adalah agar terus bertumbuh dan semakin besar, mendapatkan strategic investor global yang lebih banyak, networking lebih luas, talenta digital yang dihasilkan dapat berkompetisi di kancah dunia, dan suatu hari nanti dapat membangun kampusnya sendiri. Bicara angka, yang saya inginkan dalam 3 tahun secara revenue G2Academy dapat bertumbuh terus hingga 3-4 kali lipat," harap Ferry.
(fdl/fdl)