Dear Gen Z, Utamakan Kesehatan Mental Dalam Bekerja Ada Batasnya Lho

Lumongga Harahap - detikFinance
Sabtu, 23 Des 2023 14:20 WIB
Foto: iStock
Jakarta -

Tingginya tekanan pekerjaan yang tak dibarengi dengan gaji yang tinggi menuai banyak reaksi dari para pekerja. Salah satu tren yang naik beberapa bulan ini adalah 'lazy girl job'.

'Lazy girl job' merupakan kampanye pekerjaan dengan tingkat stress yang rendah dengan gaji layak. Pekerjaan yang dianggap ideal ini menjadi isu yang ramai di sosial media. Gabrielle Judge, seorang konten kreator, pertama kali mengeluarkan istilah ini dalam TikToknya.

Menurut survei Gallup, 44% pekerja mengalami stress pada tahun 2022. Tingginya tingkat stress dalam pekerjaan diiringi dengan tingginya biaya kebutuhan hidup membuat generasi Z mulai berpikir kembali akan keputusannya dalam memilih pekerjaan.

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang kerap berpindah tempat kerja, atau kutu loncat, dalam rangka mencari pekerjaan yang tepat dengan gaji yang tinggi. Di sisi lain, pekerjaan yang memicu timbulnya stress membuat kaum ini cepat mengambil keputusan untuk resign dari suatu perusahaan.

Lantas, seperti apa kadar stres dalam pekerjaan yang masih dalam batas aman?

Menurut Iestri Kusumah, mentor karir dan konten kreator, kadar stress yang masih dalam batas normal merupakan kondisi ketika pekerja masih dapat produktif dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Ia juga menjelaskan bahwa bila seorang tidak lagi produktif dalam periode dua sampai tiga bulan dan tidak bisa berpikir sama sekali, pada kondisi itu lah seorang perlu menarik diri dari pekerjaannya.

"Kalau malas-malasan, rebahan doang, mungkin berbeda. Tapi, ada indikasi kenapa sih itu orang bisa rebahan terus, padahal dia punya kapasitas melakukan sesuatu. Tapi, kalau dia sampai nggak bisa berpikir, itu udah burn out," jelas Iestri dalam podcast Tolak Miskin.

Ia menyebutkan, terdapat penyimpangan dalam memahami stress. Ia menjelaskan bahwa generasi Z yang masih baru di dalam dunia pekerjaan perlu mengutamakan kebutuhan sehari-hari terlebih dahulu. Setelahnya, mereka bisa mempertimbangkan kesehatan mental.

"Misalnya kita prioritasnya kesehatan mental. Itu juga tetap 'kan mempertimbangkan faktor realitanya juga gitu. Kalau memang kita lagi butuh yang di mana itu memang harus dalam keadaan yang lebih berat dulu atau tertekan dulu, ya mau nggak mau harus dilalui dulu," jabarnya.

Menurutnya, hal yang salah dimengerti oleh kebanyakan orang dalam menyikapi stres adalah masyarakat cenderung enggan merasakan stres dan lelah. Jadi, ketika berhadapan dengan pekerjaan yang menuntut sehingga menimbulkan stres, pekerja baru cenderung pergi sekaligus dari perusahaan lantaran beradaptasi dan menghadapi tekanan tersebut.

"Nah, yang menjadi salah pengertian di zaman sekarang ini adalah bahwa gen z itu mikir dengan kita mengutamakan kesehatan mental, kita tuh nggak boleh sama sekali merasakan stres nggak boleh sama sekali merasakan lelah capek atau pun tertekan. Itu yang menjadi definisi yang salah," tekan Iestri.

Ia menjelaskan bahwa orang yang sehat mental itu adalah orang yang dapat menghadapi stresnya tersebut, bukan menghindarinya.




(eds/eds)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork