Achmad Kalla, Pembisik Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji

Achmad Kalla, Pembisik Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji

Muhammad Idris - detikFinance
Jumat, 19 Agu 2016 08:06 WIB
Foto: Muhammad Idris
Poso - Siapa yang menyangka, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji tahun 2007 silam berawal dari teguran Achmad Kalla kepada kakak kandungnya, Jusuf Kalla saat masih menjadi Wakil Presiden periode 2004-2009.

Pendiri PT Bukaka Tekhnik Utama Tbk ini menegur soal kebijakan pemberian subsidi pemerintah yang dianggap jor-joran terhadap minyak tanah.

Saat itu, penggunaan tabung elpiji oleh rumah tangga masih ditakuti lantaran ketakutan tabung elpiji bisa meledak sewaktu-waktu. Dampaknya, kebutuhan memasak mengandalkan minyak tanah yang di negara lain dipakai sebagai bahan bakar pesawat terbang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hitung-hitungannya saat itu, dengan mengalihkan subsidi ke elpiji melon, akan membuat penghematan beban subsidi negara bisa berkurang 3 kali lipatnya. Isu negatif dihembuskan sejumlah pihak yang menudingnya memiliki bisnis pembuatan tabung elpiji melon.

Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Achmad Kalla di PLTA Poso II, pembangkit yang dibangun Bukaka di Sungai Poso, Desa Sulewana, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Selasa (17/8/2016).



Bagaimana awal mula ide konversi minyak tanah ke elpiji?
Jadi pada waktu itu saya kan memang suka hitung-hitung yah. Saat itu saya pikir ngapain Indonesia ini buat masak pakai avtur, minyak tanah dengan avtur itu 99% sama, barangnya itu-itu juga. Avtur dan minyak tanah, masa bahan bakat jet pesawat buat masak, Pak JK kan tersinggung saat itu.

Di dunia ini yang pakai minyak tanah hanya beberapa negara, dan waktu itu lagi mahal-mahalnya. Kan waktu itu disubsidi, sementara harga minyak waktu itu US$ 100 per barel, lalu apa? Ganti elpiji dong.

Bagaimana hitungan saat itu elpiji lebih murah dari minyak tanah?
Bagaimana hitungnya sederhana sekali. Saya masak pakai panci ambil kompor sampingnya minyak tanah, saya timbang berapa liter minyaknya berapa elpijinya, saya timbang dengan panci yang sama, dengan isi yang sama sampai menguap kan, berapa pemakaian elpiji, berapa pemakaian minyak tanah, ternyata perbandingannya 0,6 kilogram elpiji sama degan 1 liter minyak tanah.

Saya hitung harga minyak internasional, artinya sebaiknya pakai elpiji karena lebih murah, itu saja konsepnya. saya bilang ke JK, kalau mau subsidi lebih baik subsisi elpiji saja. Cuma Rp 100 saja elpiji, kalau minyak tanah subsidinya Rp 400.

Yang ketemu yang aneh, jumlah penduduk Jawa Barat dan Jawa Tengah hampir sama, tapi pemakaian minyak tanah di Jawa Barat 2 kali lipat. Logikanya orang Jawa Barat ini masak 2 kali lipat, saya tunjukan datanya Pertamina, penjualan minyak tanah Jawa Barat dengan Jawa Tengah 2 kali lipatnya, apa artinya? Yah jelas artinya oplos, pura-pura masak pakai minyak tanah, tapi dicampur dengan solar dijual ke industri itu jawabanya, jadi berapa banyak manipulasi minyak tanah. Jadi lebih baik subsidi ke elpiji saja. Begitu diganti elpiji, orang pada demo, itu orang yang demo yah yang tukang ngoplos.

Respons Pak JK?
Langsung dilaksanakan. Untungnya saya nggak berdagang elpiji. Pasti diributin. Tahun 2005 kan.

Ada sentimen negatif Bapak bisnis tabung elpiji?
Saya nggak punya proyek tabung elpiji. (wdl/wdl)

Hide Ads