Gas yang harusnya bisa digunakan untuk industri dan menjadi bernilai tambah tinggi malah diekspor mentah-mentah ke luar negeri, lalu Indonesia mengimpor barang jadi yang bahan bakunya adalah gas dari Indonesia sendiri.
Gas harus dimaksimalkan manfaatnya demi kesejahteraan rakyat. Maka perlu pembangunan infrastruktur gas yang masif. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai BUMN yang bergerak di sektor gas berupaya menggenjot pembangunan infrastruktur gas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rencana Induk Jaringan Gas Bumi Nasional (RIJGBN) yang disusun pemerintah, setidaknya perlu penambahan pipa hingga 16.000 km agar gas tak jor-joran diekspor lagi, kuncinya ada di infrastruktur.
Tapi pengembangan infrastruktur gas bukan pekerjaan gampang. Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN, Dilo Seno Widagdo, memaparkan masalah-masalah yang dihadapi kepada detikFinance dalam wawancara khusus pekan lalu. Apa saja tantangan itu?
Sekarang panjang pipa transmisi dan distribusi gas di seluruh Indonesia baru sekitar 8.000 km. Baru sekitar separuh dari Rencana Induk Jaringan Gas Bumi Nasional (RIJGBN). Bagaimana rencana PGN memperluasnya?
Kita punya rencana induk untuk infrastruktur gas yang dikoordinasikan Ditjen Migas Kementerian ESDM, ada juga demand yang cukup besar melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dikoordinasi Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM. Seharusnya kedua ini nyambung, ini yang perlu ada joint planning, kita sudah bicara juga dengan PLN supaya ada koordinasi perencanaan.
Kita rencanakan sama-sama, kalau memang harus ada penyesuaian di RIJGBN ya kita sesuaikan sama-sama. Memang perlu ada update-update terkait rencana infrastruktur.
Kita harus mempertimbangkan untuk bisa melakukan perbaikan terkait rencana induk infrastruktur. 2017 ini kita sudah punya beberapa masukan, inisiatif-inisiatif baru, yang harusnya bisa jadi update dari RIJGBN.
Untuk jaringan transmisi dan distribusi, saya pikir enggak harus kaku sama panjangnya berapa, tetapi optimasi dari pemanfaatannya yang harus diperhatikan. Jadi kalau saya punya pipa 100 km, bisa dinikmati sama 1.000 orang, kalau dipanjangkan jadi 200 km pemanfaatannya turun jadi untuk 900 orang, nggak terlalu bermanfaat untuk masyarakat. Kira-kira begitu, pemahamannya agak sedikit bergeser tidak hanya panjangnya pipa tapi yang perlu dilihat adalah seberapa besar manfaat dari infrastruktur bisa dirasakan masyarakat.
Dengan banyaknya pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) baru di RUPTL karena program 35.000 MW, apakah ada rute pipa di RIJGBN yang digeser?
Betul. Misalnya yang di utara Laut Jawa kita punya fasilitas Kalimantan-Jawa Gas di sebelah Lapangan Kepodang. Awalnya akan dibangun pipa di bawah laut sepanjang 70 km sampai ke Tuban. Mungkin akan kita sesuaikan, daripada ke sana bangun saja ke tempatnya Kepodang yang cuma 25 km tapi bisa langsung turun di Semarang, disambung infrastruktur yang sudah ada, langsung dimanfaatkan saudara-saudara kita di Jawa Tengah. Nilai manfaatnya yang 70 km nggak terlalu besar dibanding kalau kita bangun hanya 25 km.
Apa saran dari PGN agar pembangunan infrastruktur gas di Indonesia bisa dikebut?
Kalau kita membangun infrastruktur gas, sebaiknya yang mengelola siapa? Menurut saya, yang seharusnya mengelola adalah PGN karena kita national gas company. Bagaimana misalnya dengan PLN? Dia fokus saja di listrik. Ada juga yang fokus saja di industrinya, minyak. Sehingga perencanaannya lebih fokus, lebih terarah, masing-masing akhirnya bisa sinergi.
Kalau PLN butuh infrastruktur yang kaitannya sama gas, biar diserahkan ke PGN saja. Mereka punya power plant di mana, sumber gasnya di mana, kita yang sambungin.
Kalau terlalu banyak yang menangani, punya perencanaan sendiri-sendiri, bangun sendiri-sendiri, terduplikasi. Jumlah infrastruktur mungkin bertambah 3 kali lipat tapi pemanfaatannya rendah, membuat inefisiensi. Kenapa sumber daya kita yang harusnya bisa fokus kepada satu segmen komoditas tertentu harus terpecah untuk yang lain? Ini kan tidak efisien.
Contoh tidak fokus yang menimbulkan inefisiensi itu bagaimana?
Banyak, contohnya PLN mau membangun pipa gas sendiri. Harusnya sumber dayanya dia, kekuatan finansialnya bisa dipakai untuk meningkatkan jaringan transmisi dan distribusi. Tapi karena harus membangun pipa gas kan akhirnya terpecah fokusnya.
Apa tantangan utama yang dihadapi PGN dalam pengembangan infrastruktur gas bumi?
Kalau tantangannya itu dalam hal ini perlu diawali dari sisi pemerintah, harus lebih menegaskan siapa sih yang memang layak atau pantas untuk bisa mengelola industri gas. PGN ini kan dibentuk memang untuk mengelola gas makanya namanya Perusahaan Gas Negara, artinya negara punya perusahaan gas ya PGN ini, beri dong kita kepercayaan untuk bisa merencanakan, mengelola, mengoptimalisasi bukan cuma dari sisi infrastruktur tapi juga dari sisi upstream (hulu) sampai downstream (hilir). Perlu ada ketegasan, dan kita ini perusahaan yang selalu fokus dalam mengelola gas.
Mengapa harus PGN? Apakah BUMN yang lain tidak mampu?
Bukan masalah mampu atau tidak mampu, tapi yang lain ada yang perlu juga harus mereka fokus tekuni. Misalnya PLN yang perlu difokuskan adalah bagaimana listrik bisa dikelola dengan baik. Demikian juga dengan minyak. Kalau nyampur-nyampur nanti enggak fokus. Jadi saya pikir biar lebih efektif dan efisien, penugasan ini harus dipertegas.
Di beberapa negara juga seperti itu, di Inggris ada British Petroleum dan ada British Gas, di Perancis ada Total dan ada Gaz de France, di Jepang ada Inpex dan ada Tokyo Gas, China ada CNOOC dan PetroChina. Di tempat lain itu sudah dipisahkan antara minyak dan gas karena ini kan barang substitusi. Gas adalah energi baik yang harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Tapi adakah negara yang sukses mengembangkan infrastruktur gas tanpa BUMN yang fokus di gas?
Ada, yaitu Petronas. Tapi Petronas itu dalam rangka dia sebagai holding energy, di bawahnya tetap ada Petronas yang untuk minyak dan ada Petronas gas. Artinya memang harus sendiri-sendiri. (mca/ang)