Menurut data Kementerian ESDM, ada 2.500 desa di seluruh Indonesia yang belum berlistrik sama sekali. Sebanyak 80% dari 2.500 desa tak berlistrik itu berada di Papua.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat 'Nawacita'-nya telah menyatakan akan membangun dari pinggiran, supaya rakyat di daerah-daerah tertinggal bisa meningkat kesejahteraannya, tidak jomplang dengan kota-kota besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Distrik ini termasuk wilayah terluar Indonesia, berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Berkat adanya PLTM Oksibil, mulai Januari 2018 mendatang daerah ini sudah bisa menikmati listrik 24 jam.
Langkah serupa tak hanya dilakukan di Kabupaten Bintang, tapi akan dilanjutkan ke pelosok-pelosok Papua lainnya. Untuk mengetahui garis besar strategi pemerintah melistriki Papua, detikFinance mewawancara Rida Mulyana secara khusus di Jayapura usai kunjungan ke Kabupaten Bintang. Berikut petikannya:
Bagaimana strategi pemerintah untuk menerangi Papua?
Pada prinsipnya, kebijakan pemerintah sekarang, seperti yang Pak Jonan sampaikan, adalah 'energi berkeadilan'. Intinya ada unsur pemerataan di situ, minimal penerangan untuk rakyat. Upaya-upaya yang dilakukan PLN, meski mereka punya program besar seperti Maluku-Papua Terang 2020, tapi tidak akan segera semuanya terang.
Ini baru terang benderang, belum sampai listriknya, di mana listrik adalah modal pembangunan. Enggak ada listrik, investor enggak akan masuk, industri enggak akan tumbuh. Bayangkan 72 tahun Indonesia merdeka, ada yang lihat lampu saja belum. Kita ingin energi berkeadilan, rakyat Indonesia di mana pun berada bisa menikmati listrik.
Kalau hanya mengandalkan kekuatan PLN, kayaknya enggak akan terkejar. Papua ini kan topografinya luar biasa, hutan dan pegunungan, desa-desanya terpencil, enggak ada jalan raya. Kebayang lah kesulitannya.
Makanya kebijakannya, kalau ada sumber energi yang tersedia, yang kita manfaatkan adalah potensi energi setempat. Misalnya tadi di Pegunungan Bintang ada sungai, kita buat PLTM (pembangkit listrik mini hidro).
Karena PLN tak akan segera masuk ke semua pelosok, maka APBN masuk. Idealnya kan begitu. Tapi kalau dari APBN terus, itu enggak akan selesai sampai 20 tahun lagi. Artinya masih ada antrean, ada saudara kita yang masih harus hidup dalam gelap gulita.
Menurut kita itu enggak adil. Sambil menunggu PLTM, PLTS, atau lisdes (listrik pedesaan) PLN, maka kita buat program bantuan lampu tenaga surya. Itu terbatas untuk penerangan saja.
Jadi bantuan lampu tenaga surya ini untuk daerah-daerah yang belum akan terelektrifikasi dalam waktu dekat?
Betul. Kita tanya ke PLN, tahun ini, tahun depan, tahun depan lagi mau masuk ke desa mana aja. Yang PLN masuk, kita enggak masuk. Kebanyakan kita masuk ke daerah yang benar-benar terisolasi.
Kita masukin program ini yang dicanangkan oleh Pak Presiden waktu di Ambon, dimulai tahun ini dan tahun depan. Jadi sifatnya pra elektrifikasi.
Untuk pembangkit-pembangkit di daerah terpencil, siapa yang mengelola, memelihara agar tidak rusak?
Misalnya di Pegunungan Bintang, BUMD kan sudah bagus. Kita bangun pembangkitnya pakai APBN, pemda bangun jaringannya. Tadi Pak Bupati nanya, 'pembangkitnya nanti diserahkan ke saya enggak?' Iya lah, saya enggak mungkin melakukan pemeliharaan terus dari Cikini ke sini (Papua). Enggak cerdas lah, pada saatnya akan diserahkan ke pemda, mereka sudah punya BUMD.
BUMD nanti akan menggunakan menteran pintar. Jadi tiap rumah akan menggunakan meteran pintar, pakai pulsa biar masyarakat bisa mengukur kalau pakai listrik, kayak pulsa handphone. Kalau boros, cepat mati.
Apakah hanya pemerintah dan PLN saja yang melistriki daerah-daerah terpencil ini?
Ada dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, PLN, bisa juga dari investor. Ada juga CSR, tapi kan terbatas jumlahnya. Swasta dimungkinkan dari bangun pembangkit, jaringan sampai jual listrik ke masyarakat. Kita nyebutnya 'PLN mini' lah.
Tapi sampai sekarang belum ada, namanya investor kan pasti nyari profit kan? Syukur-syukur dapat margin lumayan. Tapi ini kan jauh lokasinya, susah infrastrukturnya, kecil-kecil skalanya.
Bagaimana agar swasta tertarik masuk ke daerah seperti pedalaman Papua ini?
Nanti kita kasih per region, misalnya region A, B, C biar agak gede. Kalau kecil-kecil, pasti dia margin-nya enggak besar. Tarif listriknya pasti mahal kalau terlalu kecil. Nanti ujung-ujungnya masyarakat yang menanggung.
Energi berkeadilan kan berarti tarif listrik juga harus terjangkau. Jangan sampai nanti kabel listrik lewat depan rumah tapi orangnya enggak bisa beli. Bagaimana agar tarif listrik 'PLN mini' terjangkau?
Minimal mereka (masyarakat di daerah terpencil) tidak boleh membeli listrik dengan harga lebih mahal dari tempat-tempat lain.
Ada tarif batas atas dari pemerintah?
Ya harus terjangkau masyarakat. Negara harus hadir, makanya ada subsidi.
Tahun ini, berapa dana di APBN yang disiapkan untuk bantuan lampu tenaga surya?
Sementara ini kita anggarkan sekitar Rp 320 miliar. 1 unit lampu sekitar Rp 4 juta, rata-rata. Jadi bisa untuk 80.000-an rumah.
Tahun depan lebih besar, Rp 800 miliar. Ini kan programnya mendadak, jadi tahun ini pakai anggaran dari program-program lain yang belum sempat dilelang, pengalihan anggaran.
Kalau untuk bangun pembangkit-pembangkit listrik energi terbarukan di daerah terpencil, berapa anggaran yang disiapkan?
Rp 700-800 miliar. Konsentrasinya tahun ini di 6 provinsi Indonesia Timur. Tahun depan hampir sama.
Bagaimana agar tidak terjadi duplikasi program dengan PLN atau instansi lainnya?
Kita sinkronkan dengan PLN, pemda, kira-kira mana saja yang menjadi sasaran. Jangan sampai kita kasih, eh tiba-tiba PLN masuk. Kalau duplikasi kan berarti tidak efisien. (mca/ang)