Data menyebutkan bahwa 70% pekerja informal adalah wanita. Dalam posisi yang sama, gaji yang diterima wanita lebih rendah dari pria. Wanita juga harus membuktikan terlebih dahulu sebelum diterima dalam pekerjaan yang diinginkan.
Hal tersebut juga menarik perhatian Sri Mulyani Indrawati. Baik sebagai Menteri Keuangan maupun sesama wanita. Harus ada keadilan yang tercipta agar ketika Kartini masa kini bisa memilih masa depannya, tidak kemudian malah dihadang berbagai hambatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri Mulyani memaparkan pemahamannya tentang pilihan-pilihan para wanita. Terutama pilihan ketika menikah, antara sebagai ibu rumah tangga atau tetap melanjutkan pendidikan dan berkarir. Ada saran juga dari Sri Mulyani kepada para wanita.
Mau tonton lagi video dari 20detik?
Yuk, simak wawancara khusus detikFinance dengan Sri Mulyani dalam rangka memperingati Hari Kartini.
![]() |
Bagaimana Ibu melihat peran wanita di Indonesia, khususnya di bidang ekonomi?
Kalau statistik Indonesia enggak terlalu bagus ya. Dari sisi gender equality-nya. Kayaknya indeks kita kalau dari equality di ASEAN saja kita ada di tengah. Kalau dari sisi partisipasi pasar tenaga kerja, 30% laki-laki yang di informal sector. Total informal sektor itu mostly perempuan 70%. Artinya perempuan kerja, tapi di tempat informal dan mungkin kualitas kerja tak bagus.
Jadi kalau di Indonesia sosial masyarakat memberikan peluang untuk perempuan dan laki-laki sama-sama kerja, tapi kesempatan kerja dari banyak perempuan itu tidak dalam posisi yang terlalu bagus. Ini Pekerjaan Rumah (PR) buat kita semua.
Dari sisi bayaran. Di seluruh dunia selalu ada diskriminasi, kita lihat tenis. Juara tenis Wimbledon yang laki hadiahnya lebih gede dari perempuan. Padahal sama-sama juga kerennya menurut saya. Tapi karena dia perempuan dibayarnya 20% di bawah.
Ternyata statistik di Indonesia juga sama, perempuan itu sekitar 19% di bawah laki-laki dengan pekerjaan yang sama atau sebagai perempuan anda itu default-nya kurang diuntungkan dibandingkan yang lain. Kalau anda harus melakukan sesuatu, kayak anda harus membuktikan bahwa anda bisa. Kalau laki-laki oh iya anda kerja ya kerja saja. Kalau perempuan, emang lu bisa? Emang benar-benar bisa?
Apa hambatan itu yang kemudian menurut Ibu mengurangi peran dari wanita di Indonesia?
Jadi memang perempuan itu menghadapi kendala dan barrier yang jauh lebih berat. Jadi kalau saya menularkan kepada sesama perempuan yang ingin menjalankan hidupnya antara karir rumah tangga dan meneruskan pendidikan sampai setinggi mungkin. Cita-cita harus tetap setinggi mungkin tapi siapkan mental anda bahwa anda harus menghadapi banyak tantangan yang tidak dihadapi oleh laki-laki.
Seperti tadi contohnya yang saya sebutkan. Orang bisa sekolah sama-sama bagus, kita lihat saja dari sisi partisipasi sekolah sudah sama, SMP sudah mulai kurang, high education perempuan juga kurang. Begitu masuk universitas, biasanya indeks prestasinya lebih tinggi, konsisten karena biasanya mereka lebih tekun. Perempuan enggak macam-macam dan itu tidak hanya di Indonesia, di luar negeri juga sama. Tapi begitu dia sudah selesai graduated, perempuan banyak yang memilih tidak kerja, itu karena tadi by choice atau karena by default.
Apa yang terjadi kalau itu adalah berdasarkan pilihan?
Kalau by choice itu biasanya ya sudah saya capai sarjana saya rasa sudah cukup, sekarang mau memilih untuk berumah tangga saja. Pilihan-pilihan itu biasanya tidak dihadapi oleh laki-laki. Anda (laki-laki) tidak pernah menghadapi harus memilih antara rumah tangga atau nggak, nggak ada. Anda akan terus saja sampai itu.
Kalau perempuan you have to make that decision. Itu yang tidak dihadapi oleh laki-laki. Itu yang menyebabkan, untuk perempuan yang ingin terus mencapai cita-citanya. Anda juga harus siap bahkan di keluarga di masyarakat anda akan lebih banyak menghadapi pertanyaan. Pertanyaan itu artinya bisa kemudian menjadi halangan.
Menurut Ibu, apa tidak ada solusi untuk wanita yang juga ingin mengejar karir?
Tapi itu sebenarnya tergantung dari kita berkomunikasi dengan pasangan masing-masing, pada akhirnya memang kalau untuk bisa meneruskan edukasi sampai karir itu adalah sesuatu kesepakatan keluarga. Terutama bagi yang saya ingin berkeluarga tapi juga ingin berkarir. Maka itu hanya bisa diperoleh kalau ada kesepakatan. Kalau tidak ada kesepakatan, banyak perempuan yang kemudian terpaksa atau dipaksa untuk memilih.
Tapi kalau memang by choice, ada kesepakatan antara suami istri itu, silakan kamu kerja. Tapi kalau kemudian istri memilih untuk di rumah dan menjadi manajer rumah. Manajer rumah itu juga bukan pekerjaan yang gampang, me-manage rumah tangga itu sama kayak me-manage Kementerian Keuangan. Rumitnya sama itu. Emosinya bahkan lebih gede dalam hal itu.
Jadi saya menganggap bahwa itu adalah pilihan yang luar biasa juga penting. Tapi yang saya bisa sampaikan kepada perempuan menyiapkan diri dan jangan kaget kalau harus menghadapi titik-titik pengambilan keputusan.
Sebagai Menkeu, apakah menurut Ibu ada kebijakan yang bisa membantu wanita?
Kalau saya sebagai pimpinan organisasi di sini harus bikin policy ya kalau Indonesia melihat dan potensi perempuan itu besar dan laki perempuan itu sama-sama memiliki kesempatan yang sama. Akan berakibat sangat baik kepada ekonomi, anak-anak generasi mudanya.
Maka tugas policy makers seperti kita adalah membuat supaya halangan untuk perempuan seminimal mungkin. Tadi misalnya harus ada daycare, ada tempat nursery, pemerintah juga harus bisa memberikan cuti melahirkan yang penuh atau bahkan di beberapa negara maju bapaknya juga diberikan cuti. Jadi level playing field-nya menjadi lebih terasa. Jadi beberapa beban yang muncul karena nature perempuan itu berbeda itu harusnya bisa dikurangi. (mkj/ang)