PFN baru saja meluncurkan film baru setelah sekian lama, bagaimana respons masyarakat?
Pertama tidak hanya publik secara luas, tetapi juga di orang-orang film itu juga jadi kegembiraan tersendiri. Biar bagaimana pun kan PFN ikon dalam perkembangan film nasional.
Dari sisi umur, PFN ini usianya sudah 72 tahun. Artinya dia pioneer di industri film.
Kenapa kemudian kemunculannya seperti memberikan harapan yang sangat besar, apalagi kalau kita lihat konteks sekarang industrinya lagi berkembang begitu besar. Harapannya apa, PFN bisa memainkan peran yang jauh lebih strategis ke depan mengingat bahwa industrinya sendiri punya banyak PR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenapa baru tahun ini PFN memproduksi film? Apa latar belakangnya?
Ini tidak terlepas di perubahan struktur kepemimpinan PFN ini. Kami ini kan, BoD (Board of Director/Dewan Direksi) ini baru masuk ke PFN baru sekitar Juni 2016, 2,5 tahunan. Ketika kita masuk, kondisi ini memang memprihatinkan.
Memprihatinkan, artinya kita tidak punya aset apa-apa selain aset komplek perkantoran ini. Dalam produksi, SDM-nya juga masalah, finansial juga problem. Nah 3 tahun ini kita menata. Tidak ada maksud apa-apa, sebenarnya tahapannya saja yang kita tata. Tahapannya saja dulu kita tata, kita tata internal, kita tata SDM. Bisa dibilang SDM kita itu hampir baru semua. Karena yang lama sendiri sudah tidak aktif, pensiun karena dulu kebanyakan di sini pegawai negeri. Tahun 2015 sudah bersih.
Dulu itu kan PNS karena PFN di bawah Penerangan, kemudian dikembalikan ke Kominfo. Kita mulai 2016, mulai menata. Nah tahun ini, sebenarnya sudah dari tahun lalu kita sudah rencanakan. Sudah masuk 2 tahun kita harus muncul segera, dengan produk yang bisa meyakinkan publik bahwa PFN hidup kembali.
Anda bilang baru tahun lalu menata, lantas apa yang dilakukan PFN selama 20 tahun lebih yang tidak memproduksi film?
Ini masa yang sebenarnya saya juga nggak banyak informasi. Sebenarnya kami ini benar-benar new kit on the block di-challenges untuk membenahi PFN, dan tanpa pengetahuan yang... sebenarnya kita nggak tahu persis apa yang membuat PFN vakum selama ini.
Tapi kalau dari yang kita pelajari di sini, memang ada satu situasi transisi yang memang tidak terelakkan. Dulu kan Departemen Penerangan dibubarkan, ingat zaman Gusdur. Ada situasi panjang di mana tidak jelas sebenarnya driver-nya ada di mana. Mungkin itu yang dihadapi Dirut-Dirut sebelumnya, karena ketidakjelasan status di bawah siapa. Kemudian juga tidak ada kejelasan anggaran.
Kalau dulu kan enak, di bawah Departemen Penerangan ada APBN. Nah begitu menjadi BUMN kan semuanya harus..., bukannya tergantung pada APBN, tapi kalau bisa malah memberikan kontribusi, keuntungan pada negara.
Jadi, selama 20 tahun PFN hanya diam dan tak punya arah?
Iya diam. Apalagi migrasi, dulu kan kita punya banyak peralatan dari segi infrastruktur. Dulu kita punya laboratorium celluloid, begitu migrasi ke digital kan habis nggak dipakai. Peralatannya masih analog semua.
Ini sebenarnya butuh investasi. Nah kita sih berharap ke depan ada semacam perhatian dari pemerintah juga untuk melihat soal ini.
Apa PFN tidak dapat bantuan seperti PMN?
Setahu saya belum pernah. Terakhir PMN itu tahun 2005 kalau nggak salah. 14 tahun yang lalu. Nah belakangan ini memang itu yang jadi concern kami juga, untuk membenahi sebuah perusahaan ini. Apalagi tadi disinggung hanya mungkin generasi 40 tahun ke atas yang paham PFN.
Artinya kita butuh strategi bagaimana memperkenalkan kembali PFN, katakanlah ke generasi yang lebih baru. Nah kita lakukan walaupun belum maksimal. Dan itu kan butuh dana besar juga.
Tahun sebelumnya, pada 2017, kita sudah launching Petualangan Si Unyil, di Trans. Itu Unyil tetap memakai brand Unyil, tapi dengan cita rasa kekinian, 3D. Itu sudah lumayan lah, walaupun belum sepenuhnya. Nah saya kira, persoalannya mungkin pada pemahaman mengenai betapa strategisnya industri film ini ke depan. Ini yang belum banyak dipahami oleh pengambil kebijakan, sehingga kami belum dapat kemewahan mengajukan kembali penyertaan modal negara.
Tapi sudah pernah ada upaya mengajukan langsung PMN?
Sudah, sudah.
Apa kata pemerintah?
Belum dapat giliran saja. Jadi sebenarnya kita begini, PFN mengajukan diri ke Kementerian BUMN, Kementerian BUMN mengajukan ke Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan ke DPR. Ya kita belum pernah sampai ke situ. Tapi kita coba terus.
Kebijakannya memang begini, kebijakannya sebisa mungkin tidak mengandalkan pada PMN.
Dulu juga sempat dikabarkan PFN ingin dilikuidasi?
Kalau hari ini sih Anda tanya, mungkin sekarang jauh lebih ringan ketimbang dulu. Karena utang-utang kita juga mulai kita bereskan kan pelan-pelan. Terutama pajak-pajak yang belum dibayarkan segala macam. Piutang juga dibereskan segala macam.
Intinya kalau mau dibangun lagi PFN, diupayakan diutamakan adalah sinergi BUMN, bukan PMN-nya.
Seperti apa sinergi BUMN yang dilakukan PFN?
Nah ini alhamdulilahnya kebangkitan PFN ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan dari Bu Menteri BUMN Rini Soemarno sendiri, bagaimana dia menekankan sinergi antar BUMN. Nah nggak gampang sebenarnya, karena sudah lama nggak berproduksi, ketika kita bertemu dengan BUMN lain juga pertanyaannya sama kurang lebih. 'Bisa bikin apa PFN ini?' karena kita nggak punya portofolio untuk itu.
Tapi karena kita didorong terus oleh Bu Menteri, alhamdulillah film ini sebenarnya wujud nyata dari sinergi itu terjadi. Karena ada investasi dari sesama BUMN maupun dukungan sponsorship dari banyak BUMN.
Nah kita sih berharap ini akan makin kuat dukungannya sinergi ini, sejalan dengan apa yang bisa dibuktikan oleh PFN sendiri. Kalau PFN sudah bisa memproduksi film dengan kualitas seperti yang kemarin kita rilis. Artinya kita berharap ada trust yang lebih besar kepada kita sehingga kita bisa lebih mudah.
Semua itu dilakukan dengan mengandalkan sinergi BUMN?
Sinergi BUMN ini sendiri sifatnya memang bukan peraturan ya, tapi imbauan, dorongan. Ya ini untuk membenahi infrastruktur saja kan didorong oleh BUMN, pembicaraannya sebenarnya sudah sangat panjang dari tahun lalu. Kan menyusun feasibility study dulu, melihat lagi bisnis plannya, semacamnya. Ya kita sih berharap tahun ini sudah ada penandatanganan kerja sama untuk membangun komplek ini.
Produksi film (juga sedang) jalan, karena ini dengan Petrokimia. Yang sekarang belum banyak tapi ada pembicaraan dengan Petrokimia, Jasa Marga. Jadi modelnya kita presentasi di hadapan BUMN-BUMN, kita mau garap ini, mana yang mau kontribusi. Sejauh ini hanya lisan, tapi sudah banyak.
Bicara soal kemampuan, memang bagaimana kondisi keuangan PFN sekarang?
Nah alhamdulillah ya, 2016 itu kita masih masuk daftar BUMN rugi. 2017-2018 kita sudah keluar dari daftar itu, walaupun marginnya masih kecil.
Berapa angkanya?
Angkanya untuk revenue tahun lalu kita baru nyampe sekitar Rp 26 miliar ya. Diharapkan tahun ini kita bisa mencapai Rp 48 miliar. Itu revenue ya, belum margin.
Apa yang mendongkrak PFN keluar dari daftar BUMN rugi?
Ya sinergi antar BUMN. Klien kita adalah BUMN sebenarnya. Ya kan kita bukan hanya bikin film bioskop, banyak services yang terkait audiovisual, ya dokumenter, ya company profile, ya commercial, itu ke PFN.
Bagaimana dampak produksi film ke keuangan?
Iya otomatis, dengan dukungan sponsor dan investasi, otomatis itu menaikkan performance kita. Nah kalau masih dibatasi hanya services saja, itu besar, tapi juga harusnya dengan film bioskop harusnya kita jauh lebih punya kemungkinan untuk meraup keuntungan yang lebih besar.
Perbandingan produksi film dengan services?
Kalau film kan baru 1 film. Itu komponennya masih kecil, 20% lah, 80% kita hidup dari services, melayani.