Setelah sebulan kira-kira sudah punya peta besar pembangunan koperasi dan UMKM kita?
Saya lihat kan struktur bisnis kita, 1% itu ada perusahaan besar 99% itu UMKM. Yang paling besar, jumlahnya paling banyak di mikro ini wajar saya bisa bahasakan begini sektor formal tidak bisa menyediakan lapangan kerja maka orang bikin warung lah, bikin pedagang kaki lima.
Oleh karena itu kalau kita mau memperbaiki struktur ekonomi kita, yang Pak Jokowi bilang transformasi ekonomi, maka sebenarnya perlu ada upaya menaikkan kelas UMKM kita. Sehingga nanti tidak terlalu banyak warung-warung lah. Untuk menaikkan kelas ini kita perlu melakukannya banyak hal, salah satunya bagaimana kemampuan berusaha mereka, sumber daya manusianya, teknologinya.
Memang banyak problem di UMKM itu, selain problem sumber daya manusia, teknologi, akses pembiayaan, akses kepada market, dan setelah saya pelajari sebulan ini kenapa UMKM tidak berkembang besar sehingga ekonomi kita yang besar itu hanya 1%.
Saya melihat UMKM tidak masuk dalam sistem supply chain, ada banyak produk UMKM yang bagus tapi ketika diminta oleh pasar baik pasar dalam negeri maupun luar, nggak bisa memenuhi karena nggak ada supply bahan baku.
Teknologi produksi mereka juga masih menggunakan mesin-mesin sederhana. Fasilitas-fasilitas lain tidak sebanyak perusahaan besar, perpajakan, fasilitas logistik dan tentu kalau mau ekspor masih banyak kendala.
Dari problem kasat mata itu Kang Teten bagaimana membenahinya?
Saya butuh lokomotif yang menengah ini supaya strukturnya berubah, kita mau membuka dulu lebar pasar mereka. Yang harus market driven, kalau kita gelontorin pembiayaan permintaan kecil akan macet. Pembiayaan sebenarnya sekarang yang banyak. Yang diperlukan karena jumlahnya begitu besar, saya mau pendekatan kluster, komunitas berdasarkan sentra produksi. Itu berdasarkan komodoti atau jenis usaha.
Harus fokus juga?
Harus fokus juga, terutama kepada sektor riil dan komoditi kunggulaan apa. Keunggulan itu ya tadi punya bahan baku yang dalam negeri tidak impor. Kedua permintaan pasar ada, baik dalam negeri maupun luar. Lalu saya kira hal yang penting lagi sekarang ini bagaimana juga bisa menghasilkan devisa.
Sudah tergambar masing-masing sektor tadi?
Kalau kita lihat produk UMKM yang unggul bahkan bisa ekspor itu salah satunya produk home decor mulai dari kerajinan sampai furnitur. Furnitur kita baru sekitar 2% dari market dunia. Jadi kita masih ada opportunity. Kita sudah tahu sentranya Boyolali, Solo, Jogja termasuk Jepara. Sebenernya bisa lebih mudah karena sudah ada klusternya. Yang lain misalnya produk agro mulai dari pisang, nanas dan jenis buah-buahan lainnya.
Ketiga produk dari laut mulai dari rumput laut sampai ke udang. Lalu muslim fashion, busana muslim.
Kita sudah petakan itu dan sebenarnya banyak kita masih impor produk-produk yang sebenarnya diproduksi UMKM cangkul. Saya lagi benahi rantai produksinya.
Ekspor kita memang masih kecil UMKM itu 14-15%. Kalau kita bandingkan ekspor negara tetangga, produk UMKM sudah tinggi. China itu sudah 70% ekspornya UMKM, Thailand sudah 35%-an Malaysia di atas 20%, Vietnam kalau nggak salah 17%. Sebenernya kita punya potensi, ini yang saya kira penting bagaimana UMKM dibangun daya saing.
Karena hari ini di pasar dalam negeri kita diserbu produk-produk impor. Masalahnya produk-produk UMKM tidak disiapkan untuk bisa bersaing produk impor, dan tidak disiapkan untuk masuk global value chain. Menurut saya sekarang harus karena dalam negeri harus bertarung produk-produk dari luar yang masuk yang makin hari makin besar lewat e-commerce.
China bisa bikin apa aja tapi harganya jauh bisa lebih murah, itu rahasia apa, kenapa nggak bisa meniru?
Jadi kalau lihat dulu UMKM China, dulu BUMN yang dibubarkan. BUMN zaman dulu, lalu dibubarkan, mereka bisa murah, kalau saya memang, misalnya batik printing, kalau batik tulis kita lebih unggul. Mereka bahan bakunya, kita impor. Mereka punya bahan baku, mereka marketnya juga besar. Ini tantangan kita, bagaimana produk UMKM bisa ditingkatkan, daya saing produksinya permesinan modern.
Tentu tidak mudah, untuk menaikkan kualitas daya saing produksi UMKM, mulai sumber daya manusia, sampai kuliner, produk makanan minuman. Kita ada strategi bagaimana UMKM punya pabrik yang sama modernnya dengan perusahaan besar, kami punya gagasan sharing factory, atau open factory.
Jadi rumah produksi bersama lah, disentrakan dulu, kita sediakan permesinan modern bisa swasta, pemerintah bisa BUMN.
Rencananya sharing factory ini atau rumah produksi bersama itu terintegrasi, sertifikasi, pembiayaan sehingga UMKM jangan urus sendiri persyaratan, sertifikat. Aduh mereka kesian
Time table-nya gimana?
Tahun pertama memperluas akses pasar sama pembiayaan, jadi digitalisasi produk UMKM, ini jadi prioritas termasuk belanja pemerintah. Saya sudah kerja sama LKPP mana saja kebutuhan kita. Demand dulu sama digitalisasi. Saya lagi berusaha sekarang produk-produk UMKM bisa masuk e-katalog LKPP.
Kedua akses pasar ke e-commerce makin besar, sama pembiayaan. Kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan pembiayaan. Di saat bersamaan saya lagi menyiapkan kajian untuk factory sharing. Karena yang sudah bagus Thailand, lalu Belanda.
Saya sudah punya bayangan kalau mau masuk ke pasar global ada dua metode yang kita lakukan. Pertama adalah kemitraan, kemitraan UMKM dengan perusahaan besar yang punya market di luar. Ini saya kira bisa dilakukan di sektor-sektor agro, furnitur, jadi kemitraan perusahaan besar dengan UMKM sehingga mereka bisa langsung punya akses ke pasar di luar negeri.
Kedua kita bangunkan trading house, karena UMKM nggak mungkin terkoneksi langsung dengan pasar global kalau sendiri-sendiri. Kita perlu trading house, sertifikasi produknya sampai menjembatani pasar global. Ini sedang kita lakukan. Tahun kedua ketiga kita sudah siap.