- Investasi dari China selama ini yang menjadi isu adalah banyaknya tenaga kerja China yang dibawa ke Indonesia, bagaimana menurut Anda?
Kan isu berbeda dengan faktanya. Ambillah kasus Morowali, dari 40 ribuan tenaga kerja yang ada di sana kan tenaga kerja Cinanya hanya 5 ribu. Tapi itu yang selalu ditonjolkan. Ya sama lah kalau kita berinvestasi di negara lain kan kita ingin juga ada beberapa tenaga kerja kita yang hadir di sana, khususnya tenaga kerja kunci.
Ya tetapi dalam kenyataan faktanya dari data-data yang ada, misalnya untuk Morowali dan beberapa industri nikel juga itu 40.000 tenaga kerja dan tenaga kerja dari Cina hanya 5 ribu. Jadi perbandingannya kan nyaris 80% lebih. Tapi siapa coba yang mau investasi di Indonesia dan mau menyerap 30 ribu lebih tenaga kerja di daerah yang dulunya susah dijangkau.
- Tiongkok saat ini menjadi kekuatan ekonomi dunia, apa ada peluang khusus bagi ASEAN untuk kerjasama dengan China?
ASEAN dengan China itu sudah punya aliansi strategis itu sejak 30 tahun lalu, jadi tahun depan ini kita akan merayakan 30 tahun hubungan antara ASEAN dan China. Di Beijing ada namanya ASEAN-China Center. Saya sudah masukkan satu orang Indonesia jadi direktur di sana dan satu-satunya ASEAN member yang jadi direktur di situ. Jadi I'm so proud bahwa ada orang Indonesia bisa kerja di situ dan kita punya suara. Dalam konteks itulah kerjasama antara ASEAN dan Tiongkok itu meningkat secara signifikan.
- Perdagangan RI dengan China masih kalah dengan Malaysia, apa peluang yang bisa diambil RI untuk mengalahkan Malaysia?
Memang elektronik, kalau palm oil kita nomor 1. Mungkin kita nggak rebut pasar mereka, tapi di sana sekarang semua beralih ke mobil listrik. Jadi kalau kita bisa fokus untuk baterai, kan kita sudah mulai berinvestasi. Nah itu kan bisa dorong. Kedua juga produk-produk furniture tapi furniture yang kreatif, karena saya ke berbagai industri utama furniture di sana dan investor-investornya sudah saya kirim ke Indonesia sudah berkunjung ke Jawa Tengah. Itu bisa juga menjadi salah satu unggulan kita, ekspor furniture dan kayu olahan kita, karena itu masih dikit sekitar US$ 3 miliar. Karena begini, kelas menengah di sana akan meningkat.
Menurut saya kalau kita mau konsentrasi pasca COVID-19 ini ada 4 sektor untuk investasi, yakni pariwisata, digital ekonomi, kendaraan listrik. Jadi pasca COVID ini ada hal-hal yang bisa kita rebut peluangnya. Pertama itu karena selama ini lalu kita perhatian pada healthy lifestyle. jadi hal-hal atau produk-produk yang terkait dengan healthy lifestyle itu akan menonjol, salah satunya healthy food. Kalau bisa dikaitkan dengan herbal juga kenapa semua termasuk di China itu salah satu produk yang bisa meningkatkan daya tahan tubuh sehingga tidak mudah terjangkit COVID. Kita punya makanan kita termasuk sarang burung walet itu.
- Terkait kasus perbudakan ABK yang menghebohkan bagaimana lobi-lobi KBRI di sana?
Memang itu komplikasinya banyak, itu terjadi itu lintas negara, kasus-kasus yang kebanyakan ada permasalahan dengan Tiongkok, itu ada yang terjadi di Pasifik, ada yang terjadi di Afrika, ada yang terjadi di Amerika Latin. Itu juga banyak yang terkait dengan agen-agen tenaga kerja. Mungkin ke depannya itu perlu kontrak yang jelas dan lain-lain. Kemlu itu seperti cuci piring, begitu ada masalah, baru kita diminta selesaikan. Kita nggak tahu waktu buat kontraknya.
Tapi kita tetap melayani para ABK ini, karena mereka ini bangsa kita. Kami sudah ke otoritas terkait di sana, melaporkan semua ini. Mereka sudah melakukan penyelidikan, karena mereka juga tidak mau terjadi seperti ini, karena akan mengganggu hubungan. Jadi sudah dilakukan penyelidikan oleh otoritas terkait di sana. Kita juga sudah melakukan pembicaraan dengan pihak yang punya kapal atau pengelola kapal-kapal tersebut. Mereka sudah berikan jawaban. Ada beberapa ABK sudah kita pulangkan, baik melalui Seoul maupun kemarin baru kita pulangkan juga dari China.
Jadi itu harus selain diselesaikan di pihak kita supaya kontraknya jelas, kita juga harus berbicara dengan pihak yang punya kapal. Sakit ketika melihat ada warga sesama bangsa kemudian diperlakukan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Itu rasanya ingin marah-marah, termasuk saya. Saya berharap mudah-mudahan ini bisa ada penyelesaiannya, bisa memuaskan semua pihak. Termasuk tentunya tenaga-tenaga kerja kita berupa ABK-ABK kita.
- Ada tanggapan miring terkait RI yang ikut dalam One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI). Program itu dianggap menjadi strategi China untuk membangun jalur sutra baru demi menguasai dunia. Bagaimana tanggapan Anda?
Jadi memang daya tawar kita dengan Tiongkok dibandingkan dengan negara lain, mungkin posisi daya tawarnya jauh di bawah kita. Dalam konteks BRI ini kita sinergikan juga dengan poros maritim kita. Jadi bukan berarti kita terima saja BRI itu, tidak. Kita berunding, proses perundingan yang cukup memakan waktu, bahwa dia harus investasi dalam konteks poros maritim kita dan mereka setuju. Lalu dapatnya itu adalah sinergi antara poros maritim dan BRI.
Kita dapatnya 4 koridor ekonomi, koridor ekonomi pertama itu Sumatera Utara, kedua itu di Kalimantan Utara,ketiga itu di Sulawesi Utara, dan keempat itu di Bali. Jadi kita tidak sekedar investasi yang di-drive oleh mereka saja, tapi oleh keduanya. Kemudian ada proses feasibility study sebelum investasinya. Sudah beberapa kali tim feasibilty study mereka datang ke sini. Jadi enggak ada lah pandangan seperti itu, darah kita ini NKRI, kita tahu persis ini apa yang harus kita negosiasikan.
Simak Video "Video: CT Bicara Kunci Beradaptasi di Tengah Ketidakpastian Global"
[Gambas:Video 20detik]
(das/zlf)