Pernyataan Lengkap Gapensi soal BUMN Serakah Bikin Vendor Lokal Gigit Jari

Blak-blakan

Pernyataan Lengkap Gapensi soal BUMN Serakah Bikin Vendor Lokal Gigit Jari

Vadhia Lidyana - detikFinance
Jumat, 09 Apr 2021 13:50 WIB

Alasan BUMN itu sendiri apa, kenapa harus berlarut-larut pelunasan itu?

Tahun 2019, periode pertama Pak Jokowi memang getol membangun infrastruktur di seluruh sektor. Ya kita lihat alhamdulillah menurut saya ini prestasi yang perlu dikasih jempol kabinet Pak Jokowi yang lalu, membangun Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. Perbatasan negara kita yang hari ini luar biasa, tidak memalukan lagi. Hari ini luar biasa. Kemudian pelabuhan, tol laut, jalan tol, dan segala macam yang dibangun Pak Jokowi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kita semua tahu, bukan rahasia publik lagi bahwa membangun infrastruktur itu dengan pinjaman. Tetapi hasilnya 5-10 tahun mendatang. Kalau infrastrukturnya sudah baik, maka multiplier effect-nya pun pasti baik. Tetapi kalau pengerjaan bertahun-tahun, tidak bisa kita pungkiri bahwa yang mengerjakan adalah BUMN. Pangsa pasarnya memang dia.

Contoh di Papua ribuan Km sudah tersambung. Sumatera, Kalimantan, Jawa, hampir semua dikerjakan oleh BUMN karya. Nah dalam partisipasi BUMN karya yang memang juga harus lelang, itu menggandeng perusahaan-perusahaan daerah.

ADVERTISEMENT

Dalam 1 proyek itu 5-6 perusahaan daerah digandeng. Ada yang mengurusi batu, timbunan, pekerjaan pelengkap, saluran, banyaklah. Nah subkontrak kecil-kecil ini yang bekerja.

Misalnya ada subkontrak, dikasih pekerjaan oleh BUMN senilai Rp 200 miliar. Tapi karena subkontrak itu juga diteriaki pengusaha kecil di sana, akhirnya dia mengambil anggota-anggotanya. Dibagi pekerjaan itu, ada yang Rp 3 miliar, ada yang Rp 5 miliar untuk mengurusi dump truck, atau pasir, atau batu, segala macam.

Nah pada 1-3 bulan kemudian yang kecil-kecil ini menagih ke subkontrak, ternyata dia tak bisa bayar. Karena belum dibayar juga sama BUMN-nya. Jadi tidak bisa bernapas kita. Akhirnya pengusaha kecil yang ikut ke subkontrak ini teriak karena berutang di luar.

Dampak keterlambatan pembayaran membuat berapa perusahaan bangkrut?

Jadi menurut saya, karena cashflow BUMN yang terus dipacu mengerjakan infrastruktur, menurut saya karena itu. Misalnya, hei Anda BUMN A kerjakan proyek ini, BUMN B kerjakan proyek pasar ini, BUMN C kerjakan proyek kantor perwakilan atau jalan provinsi. Kamu kerja ini, ini, ini. Pada saat mereka kerja, anggarannya tidak ada.

Contoh sekarang ini. Rata-rata proyek yang masih dikerjakan sekarang itu kan carry over, pekerjaan tahun kemarin. Dan karena COVID-19 akhirnya dilakukan refocusing semua anggarannya. Otomatis BUMN-BUMN kita ini kan menjerit karena tidak dibayar. Jadi bagaimana dia mau membayar ke vendor kalau mereka sendiri tidak dibayar pemerintah.

Apakah semua ini merupakan korban ambisi untuk pembangunan infrastruktur? Karena tidak dihitung dengan cermat, jadi bangun-bangun-bangun saja tapi tidak melihat kondisi perusahaan yang ditunjuk?

Pertama memang perencanaan. Tapi menurut saya, ini kan semua ini musibah, force majeure yang tidak terduga. Saya tidak ingin mengatakan pemerintah tidak punya master plan yang bagus, tidak punya perencanaan yang baik. Karena maksud saya kita menikmati infrastruktur yang ada saat ini. Ini pencapaian yang luar biasa. Tinggal bagaimana jalan tol yang dibangun itu menjadi multiplier effect bagi masyarakat sekitarnya.

Contoh Papua, dari Jayapura sampai Wamena, Merauke, sudah tembus semua. Sekarang pertanyaannya, siapa yang menikmati infrastruktur itu? Kalau ingin membuat orang-orang Papua menjadi tuan di negeri sendiri, maka hidupkan sentra-sentra ekonomi di sekitar infrastruktur yang sudah dibangun itu. Di sana harga jual sudah turun, harga minyak sudah turun. Tetapi bagaimana mengembangkan masyarakat kita di situ.

Contoh, sektor pertanian di sepanjang jalan tol baru, kita harus menghidupkan sentra-sentra ekonomi supaya punya nilai tambah. Kalau tidak, ya mubadzir, bikin jalan nggak dimanfaatkan karena tidak tumbuh sentra-sentra ekonomi di antara infrastruktur yang harganya triliunan itu.

Berbagai pembangunan infrastruktur, terutama jalan tol itu setelah dibangun, beberapa waktu kemudian dijual atau disewakan, atau dikelola oleh asing yang lebih profesional, sehingga kita ada pemasukan. Ketika itu tidak terjadi, akhirnya mengganggu arus kas BUMN yang dituntut untuk membangun infrastruktur lain?

Semangat bangsa memang di situ sebenarnya. Tetapi pertanyaan yang besar adalah siapa yang akan mengelola perusahaan itu kalau merugi? Siapa yang mau? Baik dari China, dari mana pun, siapa yang mau?

Makanya lifestyle negara kita ini harus kita ubah menjadi lifestyle komoditas. Dengan infrastruktur yang sudah kita bangun ini, kemudian kita bangun coklat, jagung, kopi, semuanya bangun. Maka semua negara akan berbondong-bondong ke sini.

Kita sudah punya nikel, batubara, segala macam. Kita bikin apa saja. Maka negara lain pasti akan masuk mengelola pelabuhan kita, Bandara. Tetapi kalau sentra-sentra ekonomi di daerah itu mati, siapa yang akan mengelola? Siapa yang akan menggunakan tol itu?

Bayangkan Jalan Tol Trans Jawa. Dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, kalau dibangun sentra-sentra ekonominya, itu tidak akan putus. Kan juga ada Pelabuhan Patimban, supaya peti kemas itu tidak menumpuk di Jakarta. Nah itulah tahap kedua yang harus kita kembangkan, itu pertanian kita. Masa kita negara besar, semuanya impor, bawang saja impor.

Terkait pembangunan food estate di Kalimantan, apakah Gapensi terlibat?

Ya sebagian (pembayaran) yang macet-macet itu kan ada juga dari situ. Kan kalau Papua sudah clear, jembatan sudah terbangun, tinggal bagaimana kita bangunkan raksasa yang sedang tidur. Kita bangkitkan potensi alamnya supaya provinsi itu tumbuh jadi baik.

Kemudian ke Kalimantan, pemerintah punya bayangan ini akan menjadi lumbung untuk kita. Nah, siapa yang membangun? Pasti BUMN. Membangun bendungan itu angkanya tidak ada yang di bawah Rp 300 miliar. Membangun bendungan itu pasti Rp 500 miliar sampai ke atas. Dan BUMN nggak mungkin kerja sendiri. Pasti melibatkan pengusaha lokal. Ini kan proyek nggak dibagi-bagi, kompetitif. Sudah kompetitif, harganya mepet. Kalau JO sih masih nyaman, hampir nggak ada persoalan. Kalau JO kan sama-sama punya hak. Kita juga terima dari pemerintah, kita sama-sama dapat. Yang menjadi persoalan kalau pemerintah nggak bayar kita, dua-dua kita nggak dapat.

Tapi yang tadi pengusaha lokal itu, dengan angka yang menurut saya sudah tertekan. Pasti kan manajer daerah BUMN itu ingin efisien, pasti maunya mencari harga yang oke untuk vendor. Contoh saja BUMN butuh batu. Proyek saya di Manado, itu Ketua Gapensi dan teman-teman mengirim saya. Nah saya itu punya batu, bisa dipakai di sana, tolong fasilitasi saya untuk ke situ. Tetapi mereka kan juga mencari harga terendah. Mereka kan sudah banting harga juga ketika tender. Mereka juga pasti mepet, maka mereka mencari harga yang lebih murah, tapi berkualitas. Tapi ketika sudah murah, berkualitas, tetap lambat pembayarannya, tetap dicicil. Itu yang dikeluhkan teman-teman di daerah.

Apakah semua kondisi BUMN sama seperti itu?

Ada 1-2 BUMN yang arus kasnya masih baik. Ada juga beberapa BUMN yang serakah. Sudah arus kas tidak bagus, caplok kiri-kanan, banting harga, ya kondisinya seperti itu.

Apakah kondisi ini sudah kembali dibicarakan dengan Menteri PUPR atau Menteri BUMN untuk mendapatkan solusinya?

Kemarin memang saya ditanya, jujur saya spontan saja. Saya tidak melihat fenomena yang beredar di Twitter. Kemarin saya ditanya, ya saya jawab spontan saja, pasti ini penyakit yang lama.

Insyaallah dalam waktu dekat, mungkin lewat online, kita akan coba ketemu Pak Erick, beliau ini sahabat saya. Dan pasti kalau dia tahu, dijewer sampai ke bawah.

Menurut saya ini kan kasus bukan pada saat Erick ya. Ini sudah penyakit lama yang sudah diamputasi oleh Pak Basuki. Tapi yang kita kesalnya di masa pandemi COVID-19 saat ini, di mana kondisi sedang susah, teman-teman di daerah susah, masih tega-teganya mereka terlambat dibayar. Bahkan pekerjaan yang terlambat dibayar bukan persoalan sekarang, mungkin saja 2-3 tahun yang lalu. Di masa COVID-19 mereka butuh penghidupan, tetapi di masa COVID-19 ini mereka juga nggak dibayar. Kenapa nggak dibayar? Bisa jadi BUMN-nya juga sedang mengalami proyeknya dilakukan refocusing, atau belum ada anggarannya.

lanjut ke halaman berikutnya


Hide Ads