Rambut panjang abu-abu, kaos hitam lengan panjang, celana jeans, dan sepatu kulit hitam. Tanpa jam tangan dan asesoris apa-apa, dengan santai pria berusia 68 tahun itu berlari kecil sendirian masuk ke dalam lift bersama kami.
Bagi orang yang pertama kali datang ke kantor itu, mestilah tak ada yang menyangka orang itu adalah Toto Sugiri, seorang veteran di dunia teknologi Indonesia; pemilik perusahaan data center terbesar di Indonesia dengan estimasi kekayaan US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 35 triliun.
Pagi itu Toto; panggilannya, akan melakukan wawancara khusus bersama kami. Tanpa protokol ketat, Toto masuk ke dalam lift dan naik ke atas bersama-sama dengan kami.
Pria bernama lengkap Otto Toto Sugiri itu mungkin bukan nama baru di kancah teknologi Indonesia. Tapi namanya baru-baru ini masuk dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia versi Forbes.
Toto yang menjabat sebagai Presiden Direktur DCI Indonesia ini merupakan sosok yang membumi. Itu terlihat dari pembawaan dalam kesehariannya, terutama di kantor.
Berpenampilan apa adanya, kaos hitam lengan panjang polos, dan celana jeans menjadi perawakan khas seorang Toto Sugiri.
Kesehariannya di kantor DCI Indonesia juga seperti tidak ada jarak dengan karyawan. Bahkan pria yang akrab disapa Toto ini tak memiliki ruangan khusus. Dia mengaku senang bisa bergabung dengan karyawannya dan duduk menikmati suasana outdoor di kantor.
Mencapai titik seperti saat ini, Toto memiliki cerita panjang dan perjuangan yang luar biasa. Kesuksesannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Toto yang tak pernah bermimpi menjadi pengusaha, hanya terbesit ingin menjadi seorang guru. Bahkan dia sempat mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan di Indonesia karena latar belakang akademis yang dimilikinya.
Baca juga: 4 Sultan Baru di Indonesia |
Berikut ini wawancara lengkap dengan Otto Toto Sugiri, Presiden Direktur DCI Indonesia yang namanya menggema setelah masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi Forbes:
Cerita dong bagaimana masa kecil bapak hingga menjadi Otto Toto Sugiri seperti sekarang?
Saya lahir di Bandung, dan masa kecil cukup berbahagia masih hidup dengan banyak alam dan lain-lain, main sama teman. Memang banyak hobi main sama teman-teman. Mungkin bagian dari yang membentuk diri saya pengalaman masa kecil saya juga.
Kecil itu saya sering main sama anak-anak kampung jadi sangat kreatif. Ketidakberadaan secara keuangan atau apa ya mainan kita mesti bikin sendiri. Lalu belajar juga solider, teamwork. Kalau bulan puasa kita ngabuburit barengan naik ke gunung, nangkep jangkrik itu di Bandung.
Jadi, saya yakin itu membentuk. Lalu ikut pramuka dan lain-lain personality kita, value kita terbentuk di sana. Jadi dari sisi kemampuan teamwork, empati terhadap sesama, itu yang cukup signifikan membentuk karakter kita dan hobi kita dan passion kita. Secara singkat sangat bermanfaat bagi hidup saya.
Ternyata kebahagiaan didapatkan dengan bisa bersama-sama, itu salah satu yang menjadi fondasi. Mulai lebih besar, mulai kuliah itu mencari profesi apa ke depan yang melekat di saya. Saya mau profesi sehari hari mau teamwork-nya, bukan individual, secara singkat sih proses awal itu.
Sekolah sampai SMA di Bandung, memilih Jerman sekolah selanjutnya jurusan Teknik Elektro. Saya dapatkan dari riset, pak Toto ini sempat bohongi orang tua untuk itu? Cerita dong pak soal itu.
Iya di Bandung, di Jerman Teknik Elektro dulu. Dulu Ayah saya maunya jadi Dokter, saya sebenarnya nggak suka. Mungkin waktu itu profesi yang terhormat dan juga berkecukupan. Jadi saya sendiri menyukai maunya matematika, tapi waktu itu dibilang mau jadi Guru hidup aja susah. Sama orang tua kita tidak perlu argue.
Jadi mau mendaftar pilihan pertama kedokteran, pilihan kedua nego lagi matematika nggak boleh. Ya udah lah jadi insinyur saya masukkan elektro, saya pikir elektro banyak matematikanya. Dan pergilah ke Jerman, di Jerman ujian tes dan lain-lain bagus hasilnya, sebulan bisa dapat kedokteran. Tapi saya bilang aja nggak dapat, saya dapatnya elektro. Ayah saya yang biayai. Jadi ambil elektro.
Jadi, setelah lulus sarjana muda, harus miliki lagi jurusan apa untuk master degree-nya, elektronik, energi teknik, kita nggak bisa apa yang kita suka. Saya pikir yang banyak matematika logikanya, teknik informatika pada saat itu. Itu jurusan baru di awal 70an itu masih baru.
Tanpa membayangkan nanti pekerjaan seperti apa, yang penting banyak matematikanya. Di jalani, terus terang mau lulus baru kebayang. Nanti kalau sudah lulus kerjanya mesti desain komputer baru, berarti kerja di laboratorium. Waduh saya nggak senang nih. Jadi sempat bingung mau lulus ini, stop nggak diselesaikan dulu, sampai akhirnya nggak enak sama orang tua ditanyain kapan lulus sekolahnya.
Dari situ saya bilang cari kerjaan yang bisa ada teamwork, yang banyak komunikasi dengan manusia. Jadi setelah lulus saya jadi programmer aja.
Waktu itu programmer orang-orang sudah kenal atau asing dengan kata itu?
Masih jadul banget gitu ya programmer, banyak engineering belum dipakai bidang-bidang lain. Itu background-nya itu Jadi setelah lulus jadi programmer di Jerman.
Akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia waktu itu memang terproyeksi akan kerja di indonesia setelah lulus atau bagaimana?
Dari awal passion-nya mau pulang mau hidup di Indonesia, di sana kita bangga jadi orang Indonesia, sering promosi juga kebudayaan Indonesia. Kita bikin malam kesenian dan lain-lain di sana. Jadi passionnya paling pulang ke Indonesia dan hidup di sini. Tapi proses pulangnya nggak sengaja karena ibu saya sakit. Jadi saya pulang lihat sakitnya cukup parah saya lepas deh kerjaan di sana dan temani ibu saya berobat hampir setahun sampai ibu saya meninggal. Akhirnya sudah nyangkut di sini ya sudahlah. Jadi mulailah cari kerja.
Saya nggak cita cita pengusaha, penginnya jadi guru. Jadi cari kerja di Jakarta maunya jadi programmer.