Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini bisa dibilang tak sepopuler BUMN lain seperti PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan lain-lain. Namun, perusahaan pelat merah ini punya peran yang sangat besar khususnya di industri pertahanan.
BUMN yang dimaksud tersebut ialah PT Len Industri (Persero). BUMN ini lahir tahun 1965 dan kini ditunjuk sebagai induk holding industri pertahanan Defend ID.
Kurang populernya Len Industri diakui Direktur Utama perusahaan Bobby Rasyidin dalam wawancara khusus dengan detikcom beberapa waktu lalu.
"Kenapa Len ini tidak terkenal karena kita tidak di consumer market," kata Bobby yang ditunjuk sebagai Direktur Utama pada Desember 2020 lalu.
Sebelumnya Bobby merupakan Komisaris Independen di Garuda Maintenance Facility Aero Asia dan menjabat sebagai Direktur Utama PT Alcatel Lucent Indonesia sejak Juli 2012.
Bobby menjelaskan, Len Industri memiliki beberapa fokus bisnis, salah satunya pada elektronika pertahanan. Dalam elektronika pertahanan ini, Len membuat 'otaknya' kapal perang.
"Nah di mana Len di dalam satu kapal perang ini, Len itu ada di komunikasi, ada di navigasi, ada sistem penginderaannya atau surveillance system-nya, bisa sonar, bisa radar, dan ada di mission system. Jadi semua yang berbau komputasi dan semua berbau elektronikanya di situ Len," paparnya.
Bobby juga bercerita kondisi Len Industri saat ia mulai menakhodai BUMN ini. Ia menyebut, kala itu Len tidak fokus pada inti bisnisnya. Bukan cuma itu, ia juga bercerita tentang kondisi keuangan Len yang berat. Berikut petikan wawancara detikcom dengan Direktur Utama Len Industri Bobby Rasyidin:
Setelah malang melintang di berbagai perusahaan, pada 2020 lalu ditunjuk jadi Direktur Utama Len, bagaimana perasaan bapak saat ditunjuk memimpin perusahaan ini?
Kaget. Kagetnya itu dalam arti positif. Satu kagetnya tidak pernah berpikir bahwa saya akan masuk ke wilayah pemerintah. Kalau ini kan walaupun dia badan usaha tapi kan milik negara. Artinya, semua aturan-aturannya, semua regulasi dipenuhi, tata caranya, tata kerjanya, kan harus manut pada aturan negara.
Sementara di swasta atau di multinational company itu, bedanya gini, Kalau multinational company itu menjadi tujuan utama kita adalah target kita, objektivitasnya kita, bagaimanapun caranya ya kamu atur selama kamu tidak melanggar code of conduct. Kamu tidak melanggar compliance rule, apalagi saya terakhir di Franco Amerika. Franco Amerika sangat ketat dengan cara-cara yang anti coruption.
Sementara kalau kita di sini, itu saya merasa kompleksitasnya jauh lebih tinggi daripada yang ada di multinational company. Kalau di sini itu emang ada KPI, ada target tahunan yang kita capai, tapi yang penting dalam perusahaan negara itu adalah proses, bisnis proses yang harus diikuti.
Jadi walaupun di atas compliance, code of conduct, etika bisnis itu harus kita menghadapi itu SOP atau bisnis proses yang memang sangat rigid. Inilah yang kadang-kadang membuat kita agak sedikit lamban. Kalau biasanya di perusahaan multinational company kita kecepatannnya 100 km per jam, ya kalau di sini mungkin 60-70 rambu-rambunya dilihat terus.
Berat nggak?
Beratnya itu begini, satu, saya menemukan PT Len ini tidak pada porsi yang sesuai dengan namanya. Kedua, saya melihat identitas dari perusahaannya juga blur. Jadi kan saya sudah malang melintang di beberapa perusahaan multinasional itu jelas identitasnya. Kayak misalnya Alcatel identitasnya apa, kita adalah produsen alat-alat telekomunikasi, infrastruktur, infrastruktur telekomunikasi, jaringan telekomunikasi.
Saya pernah di perusahaan sebelumnya software company. Jadi jelas adalah identitasnya software development. Di Len ini identitas ketika saya landing itu blur. Karena terlalu banyak ngerjain macam-macam, mulai dari jaringan gas, mulai dari gardu listrik, kemudian mulai dari, sampai dulu pengin ngerjain Pertashop itu loh.
Which is sebenarnya menurut saya identitas Len tidak di sana. Len itu identitasnya harusnya, namanya electronic company, jadi harusnya melekatnya di elektronikanya, hanya sistem komputasinya, harusnya kesistemannya. Inilah yang dalam satu setengah tahun ini saya benahi.
Di mana saya mengembalikan lagi identitasnya, di mana Len ini kembali ke core kompetensinya, di mana kerjaan-kerjaan atau proyek-proyek di luar core kompetensi itu mulai saya redam. Di lain pihak saya yang di core kompetensi ini yang tadinya Len setengah-setengah ini saya perdalam.
Apalagi masalah Len saat bapak masuk?
Karena tadinya bisnisnya terlalu melebar, kompetensinya tidak dalam, sehingga biaya produksi Len itu tinggi. Biaya produksi Len tinggi overhead-nya juga tinggi di masa lalu nih. Itulah yang menyebabkan Len ini secara kinerja keuangan itu selama ini kedodoran. Itu juga yang menyebabkan bahwa di satu titik, dukungan dari keuangan itu sudah mulai mandek, ketika saya landing.
Maka, apa yang kami lakukan di jajaran direksi waktu itu, kami melakukan 2 program sekaligus. Satu adalah program restrukturisasi yang holistik dan komprehensif terhadap semua aspek. Yang kedua kami melakukan bisnis transformasi dari Len. Diharapkan kedua program ini itu akan menyehatkan kinerja keuangan Len kembali. Ini sekarang dua program sedang berjalan dengan baik which is menurut saya sesuai dengan harapan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini kinerja keuangan Len akan menjadi perusahaan yang normal kembali.
Dukungan keuangan mandek itu gimana?
Jadi gini, pada titik antara di mana balance sheet itu neraca keuangan kita harus diperkuat. Di mana sudah timpang, bukan timpang, sudah tidak sesuai kaidah kinerja keuangan yang normal.
Di mana mungkin tingkat utang jauh lebih tinggi dari kemampuan kita membayar. Sehingga utang ini mau nggak mau kan kita lakukan restrukturisasi. Kita panjangin, kita negosiasi bunganya, tenornya kita panjangin, sehingga disesuaikan dengan kemampuan kita membayarnya.
Kemampuan kita membayarnya ini dari mana, tentu dari keuntungan perusahaan. Kalau pondasi bisnis tidak kita ubah maka nggak akan mungkin kebayar ini utang kan. Karena apa tadinya overhead-nya tinggi, biaya pokok penjualannya tinggi sehingga margin tipis sekali bisa-bisa nggak kebayar ini utang.
Sehingga on the same time kita melakukan restrukturisasi dari bisnis kita juga. Supaya keuntungan kita besar, dengan keuntungan besar inilah kita akan membayar, akan mencicil utang yang ada.
Ketika bapak masuk tahun 2020 seberapa besar utangnya? Timpang dengan pendapatan?
Timpang sekali, kalau tidak kita restrukturisasi maka Len pada saat itu akan deadlock.
Berapa utangnya?
Gede lah. Cukup besar, tapi tidak sebesar Garuda, tidak sebesar BUMN lain juga. Tapi kita melihat indikasinya, sudah indikasi ke arah negatif maka kita ambil keputusan pada saat itu melakukan dua hal itu. Kita restrukturisasi, on the same time kita melakukan transformasi bisnis.
2021 itu secara laba rugi kita sudah positif. Alhamdullilah sudah positif. Tapi neracanya belum kuat. Karena kan banyak pekerjaan-pekerjaan terutama pekerjaan-pekerjaan pemerintah. Di mana membutuhkan modal yang kuat juga. Dengan neraca kita yang sekarang maka harus kita perkuat ini neraca supaya kita mempunyai leverage terhadap pembiayaan yang cukup, yang lebih tinggi untuk pembiayaan project-project baru yang kita dapat dari pemerintah.
Itu salah satu tugas dari pemegang saham ketika ditunjuk?
Jadi tugas yang pertama bagaimana menyehatkan kinerja keuangannya Len. Yang kedua untuk menciptakan bahwa Len ini secara bisnis itu ke depannya akan lebih sustain. Yang ketiga bagaimana 2021 kita fokus melakukan holdingisasi dengan melakukan konsolidasi 5 BUMN pertahanan yang ada di mana Len ditunjuk menjadi induk.
(acd/eds)