Seluruh dana haji jamaah asal Indonesia dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dari lembaga ini, dana yang dikumpulkan dikelola hingga menghasilkan keuntungan yang nantinya akan digunakan untuk menutupi ongkos biaya haji para jamaah.
Dalam Blak-blakan kali ini, BPKH akan membahas terkait prosedur pengelolaan dana haji, menjawab isu terkait utang dengan Arab Saudi, dan menjawab rencana kenaikan ongkos naik haji.
Berikut wawancara selengkapnya:
Bisa dijelaskan apa peran dan fungsi utama BPKH?
Sesuai dengan UU 34/2014, peran utama lembaga ini mengelola dana haji, dulu sebelum lembaga ini belum ada dana haji dikelola oleh Kemenag, dan mereka juga mengelola operasional haji, sejak lembaga ini ada maka pengadaannya diserahkan kepada kami, BPKH.
Yang dimaksud mengelola itu mulai menerima setoran, menginvestasikan atau menjaganya sampai membayar semua kebutuhan yang diperlukan untuk haji. Singkatnya seperti itu kira-kira.
Bagaimana prosedur pengelolaan dana haji?
Jadi begini, dulu sebelum ada BPKH dana yang disetor jamaah itu disimpan oleh Kementerian Agama, dana tadi dianggap sama saja sejak dia setor sampai dia berangkat kemudian (begitu saja).
Walaupun memang kenyataannya dulu itu dana yang disetorkan lebih kurang dengan kebutuhan cost seorang jamaah. Tapi dengan antrean yang panjang, maka sebetulnya terjadi cost yang terus naik, seperti tahun ini, lonjakan luar biasa. Sementara dana ini statis saja, sehingga lama-lama ada gap, gap yang inilah kemudian BPKH mengisi.
Contoh riilnya, sebelum pandemi jamaah itu ketika dia menyetor Rp 25 juta, menjelang berangkat ditambah Rp 10 juta, jadi Rp 35 juta.
Jadi cost haji saat itu Rp 75 juta per orang. Ada gap, ketika mereka setor hanya Rp 35 juta. Sisanya ini kita tutup dari nilai manfaat yang kita hasilkan.
Itu harus dikejar, kalau tidak bisa repot nombok ya?
Betul, itu yang juga menjadi konsen kami bahwa pola ini ke depan harus ditinjau ulang.
Bagaimana peninjauan yang dimaksud?
Kalau tidak ada perubahan apa-apa, maka cost naik terus, setoran tetap, gap makin besar, maka mau Ndak mau di tahun sekian itu berlaku atau seperti yang terjadi pada kasus First Travel, bahwa setoran orang termakan untuk subsidi, ini kita hindari sebetulnya. Sampai hari ini Alhamdulillah masih bisa kita atasi, nilai manfaat itu cukup untuk menutupi tadi, subsidi tadi.
Tapi lama-lama tidak bisa, sehingga kita punya sebuah pemikiran, dan kita sedang membuat kajiannya. Ya intinya itu tidak bisa dipertahankan, menurut saya.
Sehingga ada hal baru yang dipertimbangkan untuk diubah, tapi ini menyangkut tiga pihak, masyarakat haji sendiri, pemerintah dan BPKH. Nanti ujungnya kita ke sana insyaallah, bahwa perlu ada perubahan.
Saya sudah menulis di media hal yang sama, apalagi tahun ini kan kita dikejutkan dengan naiknya atau tambahan syair cost yang tadinya per jamaah dibebani 1500 riyal tiba-tiba tahun ini menjadi 6000 riyal. Itu kan semacam service fee.
Kenaikan itu karena pandemi?
Tidak juga, kalau saya melihat kebijakan baru mereka, Saudi yang kalau saya boleh dikaitkan dengan kebijakan mereka yang ingin mengubah infrastruktur Makkah Madinah.
Tujuannya untuk pembangunan?
Pembangunan, ditambah dengan turunnya pendapatan minyak mereka kan, dugaan saya ke sana. Rp 25 juta plus Rp 10 juta ketika mau berangkat. Itu sebelum ada optimalisasi, rata-rata berapa? Mulai dari Rp 46 juta, Rp 53 juta, lalu dari 2015-2016 ke atas sudah ada gap.
Sebelumnya aman?
Sebelumnya dulu sekali, ketika 2005 ke bawah itu kan orang pengumuman haji di tahun yang sama, tahun ini berangkat haji pendaftaran di kasih 3 bulan. Maka siapapun yang siap setor jadi by vost, tidak ada antrean tapi kan itu dipandang tidak adil. Itu menguntungkan mereka yang siap, yang punya uang.
Lalu dibuat orang boleh daftar kapan saja konsekuensi nya ada antrean. Sehingga ada upaya agar mereka tidak terlalu berat sehingga diberikan semacam subsidi tadi, kebetulan tadinya ada semacam efisiensi yang bisa nutup, tapi lama-lama kan ini tidak bisa dibiarkan.
Cara BPKH menutup gap polanya seperti apa?
Kita sudah diatur oleh Undang-undang. Ada 6 prinsip dasar yang tak bisa dilanggar, pertama harus syariah, jadi kalau kita dengan bank harus bank syariah, investasi syariah, kedua tentu harus aman, must secure safe, sedapat mungkin tidak hilang karena ada pasal mengancam kami jika itu gagal.
Jadi misal kripto ada syariahnya nggak bisa karena ada naik turun nggak karuan?
Iya, syariah kan mengatur sebenarnya pertama syariah, kedua aman, ketiga harus memberikan nilai manfaat, jadi kita mau nggak mau. Kalau perusahaan itu mendapatkan laba, pada akhirnya masuk ke modal, kalau kita nggak, kembali ke pemberi dana, siapa? jamaah haji yang menunggu.
Semua laba yang kami hasilkan digunakan untuk mereka berangkat dan sebagian untuk jamaah tunggu, nah itu yang sekarang baru yang kita sebut future account.
Jadi intinya dana yang masuk itu semuanya untuk jamaah, bukan untuk pengurus bukan untuk lembaga, boleh dikatakan untuk kami tidak ada. Kemudian ada transparansi.
Dana abadi umat bagaimana?
Dana abadi umat adalah dana yang dimiliki yang dititipkan Kemenag kepada kami.
Berapa jumlahnya?
Hari ini berjumlah Rp 3,7 triliun, dari awal kami terima di Di 2018 Rp 3,1 triliun. Ini dua hal berbeda, dana abadi bukan untuk operasi haji, itu di kita operasikan dapat revenue tapi untuk kemaslahatan.
Asalnya dari?
Akumulasi saldo-saldo haji sebelumnya sehingga terkumpul lah DAU tadi itu dititipkan ke kita juga. Dana haji berbeda ni, dua-duanya kita kelola.
Tujuannya buat apa?
Membantu kemaslahatan umat, ada kita sebut ada 6 bentuk kegiatan pelayanan haji, misalnya ada beberapa daerah yang minta kami mau bikin asrama haji, klinik, kabah-kabahan an untuk manasik, bahkan untuk kursi roda, prasarana ibadah, sekolah, pesantren, kesehatan bahkan kemarin kita bantu juga untuk COVID-19.
Jadi ini tidak masuk dalam pengelolaan haji?
Kita kelola tapi di luar dana haji.
(kil/eds)