Siapa tak tahu PT Unilever Indonesia Tbk? Produk-produknya telah menemani keseharian konsumen mulai dari sektor kecantikan, perawatan tubuh, produk kebersihan rumah tangga, hingga produk makanan dan minuman.
Bos Unilever Indonesia kini berada di bawah kendali Ira Noviarti sebagai Presiden Direktur sejak 25 November 2020. Kedudukannya sebagai pemimpin di perusahaan multinasional membuktikan bahwa perempuan juga bisa setara laki-laki.
"Walaupun culture dan stigma terutama di Indonesia terbatas untuk perempuan, itu bisa sama suksesnya dengan pria. Ini sebenarnya culture dan stigma yang pelan-pelan harus dihilangkan. Perempuan dan laki-laki itu masing-masing memiliki kekuatan dan kombinasi yang akan membuka kemungkinan lebih bagus," kata Ira dalam wawancara khusus detikcom beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ira bertekad bisa membawa Unilever Indonesia mencapai kesetaraan pada 2025. Dalam kesempatan ini dia juga bercerita mengenai perjalanan karier, gaya kepemimpinan, hingga tantangan perusahaan menghadapi pelemahan ekonomi global.
Simak selengkapnya wawancara khusus Presiden Direktur Unilever Indonesia dengan detikcom di bawah ini:
Bagaimana perjalanan karier Anda sampai akhirnya bisa jadi pimpinan Unilever?
Kalau saya bisa cerita sedikit, di tahun 1995 saya join dengan Unilever Indonesia sebagai Management Trainee. Pada saat itu saya join, saya lulus dari Fakultas Ekonomi Major in Accountant, tapi pada saat itu saya join di marketing. Di tahun 1998 itu saya dikasih kepercayaan untuk jadi Regional Senior Brand Manager untuk Southwest Asia North Asia, lalu tahun 2000 saya diminta pegang one of the biggest brand Unilever Indonesia yaitu Pepsodent, lalu 2002 saya diminta sebagai Marketing Director di Ice Cream, jadi itu satu set on my career.
Set kedua saya masuk di 2005-2010 masuk sebagai Skincare Marketing Director di mana salah satu yang mungkin saya lakukan lumayan besar adalah membuat Pond's yang tadinya nomor 10 brand di global dibandingkan sama Pond's di negara lain di dunia, itu menjadi nomor 1 pada saat itu. Saya dengan tim juga membuat skincare bisnis itu size-nya 3x lipat selama 5 tahun dan membuat skincare itu waktu itu the most profitable capality. Nah 2010 saya diangkat sebagai Floor Director Unilever sampai 2014, lalu pada 2014 sampai 2017 saya menjadi Managing Director untuk Unilever Food Solutions (UFS) Asia Tenggara berbasis di Singapura.
Lalu dipanggil ke Indonesia kembali untuk pegang BPC (Beauty dan Personal Care) Unilever Indonesia menjadi Direktur di 2018-2020 dan di akhir 2020 dikasih kepercayaan untuk menjadi CEO Unilever Indonesia.
Terlepas dari capaian yang banyak, perempuan kan sering diasosiasikan sebagai orang dapur. Tanggapan terkait pandangan itu?
Saya percaya kalau perempuan dan laki-laki itu memiliki kesempatan. Secara natural memiliki profile nature yang berbeda di mana sebenarnya saling melengkapi. Walaupun culture dan stigma terutama di Indonesia terbatas untuk perempuan, itu bisa sama suksesnya dengan pria. Ini sebenarnya culture dan stigma yang pelan-pelan harus dihilangkan. Perempuan dan laki-laki itu masing-masing memiliki kekuatan dan kombinasi yang akan membuka kemungkinan lebih bagus.
Untuk menghilangkan stigma perempuan sebagai orang dapur, di bawah kepemimpinan Anda bagaimana mengatasinya? Di dunia kerja lain mungkin perempuan sering mengalami diskriminasi seperti ketimpangan gaji dan jabatan, di Unilever Indonesia bagaimana?
Di Unilever kalau saya lihat, saya itu bersyukur bisa bekerja di perusahaan yang kita itu memiliki prinsip jelas banget terhadap perbedaan. Jadi value dari Unilever itu melihat gimana perempuan melawan kepercayaan yang tadi sudah saya share. Kita punya believe di mana kita melihat bahwa perempuan itu memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki, bahwa perempuan itu memiliki aspirasi yang juga penting untuk didengar dan penting untuk diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Nah karena believe tersebut, di Unilever Indonesia memiliki yang namanya set dulu strategi dan ambisi yang jelas untuk perusahaan. Jadi saya punya strategi dan tujuan jelas yang very clear, yang kita sampaikan ke seluruh tim kita di Unilever Indonesia di mana kita ingin memiliki organisasi yang gender balance dan kalau bisa itu 2025 mereka yang menduduki posisi senior, junior, bahkan across organization itu bisa 50:50, itu ambisinya 50% perempuan, 50% laki-laki.
Kalau sekarang journey kita ke arah sana bisa dibilang sangat menggembirakan karena di board of director saja kita sudah 50:50, lalu di senior leadership di bawah board juga yang jumlahnya kurang lebih 80 orang itu kita sudah 50:50. Di level bawahnya lagi yaitu manager dan asisten brand manager itu kita sudah di 45%. Ini yang kita juga harus terus gerakkan ke organisasi unit across level di Unilever Indonesia.
Caranya gimana?
Satu hal yang kita lakukan adalah kita memiliki namanya board, yang kita bilang equity, diversity, and inclusion board. Board ini sebenarnya ditugaskan untuk melihat dan membuat rangkaian program dan komitmen untuk bisa menjalankan kesetaraan gender ini dari mulai program mungkin hotspot-nya ada di sales, kalau sales itu di lapangan lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan.
Kalau di marketing malah kebalikannya, 85% perempuan, 15% laki-laki. Di finance juga 70% perempuan, which is sebenarnya nggak benar juga karena terlalu banyak perempuan juga nggak imbang juga karena akan ada suatu gap yang saya bilang dominant logic yang membuat suatu keputusan tidak diambil secara kaya karena terlalu setipe semua cara berpikirnya.
Jadi balik lagi ke equity, diversity, and inclusion board ini tugasnya adalah benar-benar melihat program rekrutmennya Unilever Indonesia seperti apa, bagaimana melihat level dalam karir perempuan yang mereka pada dasarnya kesulitan, biasanya ini ada di level pada saat perempuan usia 25-30 tahun. Pada saat itu di mana karirnya sudah mulai menanjak, tapi juga pada saat yang sama dia memutuskan untuk menikah dan punya anak. Biasanya kesulitannya adalah dari sisi prioritas membagi waktu, itu juga kita bantu dari sisi apakah program atau mungkin kariernya bisa saja dipilihkan agar tidak terlalu intens dulu sehingga dia bisa putar prioritas ke keluarganya. Nanti pada saat dia sudah siap, kita bisa berikan lagi posisi yang mungkin lebih melibatkan intensitas yang lebih tinggi.
Jadi kita juga ada fleksibilitas di situ. Program lainnya juga seperti mentoring, coaching untuk bisa melengkapi para perempuan bisa menjadi leader yang baik dan kuat. Pastinya juga fasilitas yang kita berikan untuk bisa membuat perempuan nyaman, misalnya pada saat dia menyusui anaknya itu kita buat nursery room, tempat penitipan anak, gitu.
Jadi mungkin itu secara gambaran besarnya dan komitmen sih dari semua leader di Unilever Indonesia harus tinggi karena kalau enggak, nanti kita lambat kecepatan untuk bisa dapatkan lebih banyak pemimpin perempuan di organisasi kita.
Berarti peran perempuan sangat penting ya bagi Unilever Indonesia? Apa goals Anda selama jadi pemimpin?
Pentingnya itu mungkin kalau bisa saya jelasin ada tiga hal. Pertama, penting banget untuk sebuah organisasi memiliki keberagaman dalam mengambil keputusan. Kebayang misalnya dalam suatu organisasi pengambil keputusannya semuanya pria. Pria kan memiliki dominant logic yang berbeda dengan perempuan, jadi mungkin dia pendekatannya lebih langsung. Perempuan lebih menggunakan aspek simpati dan empati yang lebih tinggi misalnya, banyak lah aspek dalam pengambilan keputusan yang harus dipertimbangkan oleh sebuah organisasi.
Gender balance ini sebenarnya membantu membuat keputusan tersebut lebih kaya karena mempertimbangkan semua aspek pandangan, nggak semua aspek pandangan perempuan tapi juga laki-laki. Tidak bisa terlalu banyak satu logic tertentu yang dipakai dalam mengambil keputusan dan karena kita punya konsumen lebih dari 50% adalah perempuan, itu juga yang diperlukan dan kita harus memiliki kreativitas tersendiri apa sih yang diinginkan konsumen mayoritas Indonesia. Itu kenapa penting banget untuk gender balance.
Peran perempuan menjalankan perusahaan sama pentingnya dengan laki-laki di mana dia harus memberikan performance yang terbaik kepada perusahaan. Dia juga diharapkan menjadi talent yang bisa bersaing di Indonesia dan global. Dia juga harus menjadi role model terhadap perempuan-perempuan lain di perusahaan kasih inspirasi, tunjukin jalannya gimana, menjadi mentor for other woman, itu yang diharapkan dari leader-leader perempuan.
Kalau ditanya goals saya sebagai perempuan yang pertama adalah saya ingin membawahi Unilever Indonesia sebagai perusahaan terbesar di Indonesia yang kalau bisa ke posisi lebih baik dan kuat lagi. Itu yang saya harapkan dari diri saya sendiri sebagai pimpinan perusahaan Unilever Indonesia dan bagaimana kita bisa jadi market leader yang kuat karena dengan persaingan yang luar biasa kalau kita tidak kuat akhirnya akan kehilangan terus market share-nya, akhirnya kita tidak jadi market leader lagi. Nah itu jangan sampai ke arah sana. So I really want to make Unilever Indonesia itu lebih kuat lagi. I really want to help the market berkembang lebih cepat lagi.
Kedua, bagaimana memastikan kalau Unilever Indonesia bisa menjadi perusahaan yang bisa memberikan dampak positif terhadap Indonesia. Jadi nggak cuma tumbuh tapi nggak melakukan sesuatu yang berdampak besar kepada negara, nggak bisa, karena kita bertumbuh sudah 88 tahun bareng-bareng sama Indonesia. Kita harus pastikan kalau Indonesia juga berdampak positif dengan pertumbuhan kita dan bisa membantu pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Ketiga, saya ingin melahirkan pemimpin-pemimpin sukses juga yang mampu bersaing di Indonesia dan global ekonomi. Gimana caranya mereka bisa bersaing dengan negara lain. Saya nggak cuma bilang 'saya mau kamu bersaing ya dengan para perempuan di negara lain', tapi saya harus bisa membantu dia supaya bisa oke banget gitu kan.