PT Garuda Indonesia (Persero) menjadi salah satu perusahaan pelat merah yang banyak dirundung masalah dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi pasar penerbangan yang menurun saat pandemi COVID-19 ditambah terkuaknya masalah internal dan keuangan Garuda membuat perusahaan ini sempat terseok-seok.
Hal itu membuat keuangan Garuda anjlok, sialnya lagi utang pun menumpuk. Puncaknya, Garuda sampai harus berjibaku di pengadilannya saat digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat oleh salah satu krediturnya.
Namun, perlahan kini Garuda bangkit. Setelah berhasil lolos dari jeratan pailit di proses PKPU, kini Garuda sedang bersiap menyambut era baru pemulihan industri penerbangan paska COVID-19.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan kini pihaknya cuma punya satu tujuan, yaitu membuat perusahaan yang dipimpinnya bisa menorehkan keuntungan.
"Sekarang saya prinsipnya kita mau untung. Saya akan fokus ke profitability. Saya akan fokus ke situ. Saya nggak mau lagi ada PKPU di Garuda," kata Irfan ketika berbincang bersama detikcom di kantornya, Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Irfan juga bercerita banyak hal, mulai dari tren baru pemulihan penerbangan, keluhan soal tarif, hingga masalah strategi tarik cuan di balik konser Coldplay dan gelaran Pemilu. Berikut kutipan lengkap wawancara khusus detikcom dengan Irfan Setiaputra.
Pemulihan industri penerbangan saat ini bagaimana setelah dihajar habis-habisan selama pandemi, apalagi Presiden juga sudah keluarkan Kepres pencabutan pandemi?
Jadi gini, kita kan terdampak itu karena imbauan mobilisasi yang pesat, ibarat orang Islam ini makruh, memang belum haram tapi makruh. Jadi, ketika orang nggak keluar rumah, nggak ke kantor, nggak ke mal, udah pasti jumlah yang terbang makin dikit. Makanya industri ini kan pada ujungnya terdampaknya gila-gilaan.
Di ekosistem aviasi, kan ada airlines, airport, ada ground handling, ada pembuat pesawat, ada lessor, catering gitu kan. Itu langsung terdampak semuanya. Karena dia punya industri itu atau ekosistem ini ditunjang oleh pergerakan pesawat. Kan waktu itu drastis tuh (berhentinya).
Paling parah itu di awal, kemudian membaik. Awal itu tahun 2020-an ya karena orang menghindar aja kan. Kemudian setelah itu muncul kebutuhan tak terelakkan bagi orang untuk berpergian kan. Yang cukup ketat itu dan buat kita agak shaky adalah ketika PPKM diterapkan, agak ketat itu.
Sebenarnya, kita sangat setuju agar penjalaran virus tidak berkembang dan airlines tidak jadi sumber utama penyebaran. Nah setelah semuanya pelan-pelan dihapuskan, dikurangi pengetatannya, kesehatan masyarakat meningkat karena vaksinasi kita udah mulai pede.
Nah tahun ini, seperti diramalkan juga. Di ekosistem ini ada banyak analis. Tapi, strangely, semua orang itu sepakat bahwa penerbangan domestik itu recovery tahun ini. Itu memang sudah terbukti. Jumlah penumpang yang terbang, basically sudah mendekati pandemi, sebelum pandemi. Kalau ditanya seperti apa pemulihannya, penerbangan domestik sudah hampir sama dengan 2019.
Persoalannya hanya alat produksi dalam hal ini pesawat itu belum bisa mengejar kecepatan recovery domestik. Kedua, pandemi ini mengajarkan banyak pihak untuk settle, beberes juga. Kami dari Garuda memutuskan kami tidak akan punya pesawat seperti dulu. Kita nggak akan terbang sebanyak dulu, dari satu destinasi ke destinasi lain. Seperti Surabaya atau Bali, pelan-pelan kita naikin lah.
Kenapa ya? Kita nggak mau lagi kejadian seperti dulu. Bahwa kita terbang, kemudian kita kosong, ujungnya rugi juga. Kita mau memastikan setiap kita terbang itu pasti menguntungkan.
Tetapi ada juga, peserta ekosistem lain lakukan adjusment, misalnya banyak airport yang jam 6 sore aja sudah tutup, sampai sekarang belum buka recovery teman-teman di bidang lain juga butuh waktu kan. Misalnya, teman-teman ground handling butuh waktu juga untuk pulihkan kru-nya yang sempat berkurang.
Jadi, ini speed recovery-nya dari tahun ini dan tahun lalu itu sudah meningkat, kemarin pas Pak Presiden umumkan juga, pada dasarnya 'lu mau ke mana, kapan, itu sudah bebas.'
Itu tadi kalau dari sisi jumlah, nah kalau dari sisi behavior kita tetap mesti hati-hati. Karena kalau industri kan ukurannya jumlah pesawat, jumlah penerbangan, dan orang yang terbang kan. Problemnya adalah orang yang terbang ini behavior-nya itu harus dipahami ulang, karena ada sedikit perubahan.
Contohnya adalah masih ada beberapa penumpang itu diklasifikasikan sebagai revenge traveler. Misalnya, dia ini senang ke Bali, sebulan sekali ke Bali, nah pandemi itu berhenti. Dua tahun mungkin orang nggak mau terbang. Nah sekarang ketika dibuka, dia bisa sebulan empat kali, atau dua kali. Jadi kepengin terus.
Pertanyaannya, apakah ini jadi new behavior, atau revenge ini cuma akan menjadi berbalik, cuma dalam beberapa waktu aja. Saya nggak mau katakan kalau ini cuma tren sementara aja dan akan balik ke behavior lama, tapi saya katakan bahwa kita mesti waspadai kemungkinan perilaku yang nggak align dengan apa yang kita lihat sekarang. Jadi kita lagi monitor terus ini grafiknya akan naik dikit dan kembali ke sebelum pandemi atau tidak.
Nah kalau penerbangan internasional memang perkiraan akan kembali itu sekitar 2024 ke atas, cuma agak unik juga. Beberapa lokasi itu, di beberapa tempat, sudah boleh dibilang recovery bahkan di atas 2019 angkanya. Contohnya penerbangan ke Arab Saudi, umrah, ini gila-gilaan. Yang mau pergi itu banyak banget, jauh lebih tinggi skala bulanannya dibandingkan 2019.
Cuma beberapa tempat emang belum normal, misal Jepang, Australia juga masih picking up membaik, nah itu kalau kejadian internasional pun lebih disumbangkan oleh kurangnya ketersediaan pesawat jadi agak lambat. Mudah-mudahan 2024 ada kembali recovery.
Load factor saat ini berapa banyak?
Ya membaik sudah di atas 80-an persen. Kita kan penerbangan terbatas, mungkin banyak yang maniaknya Garuda. Kemarin juga kan kita menang best cabin, nggak bisa dinafikkan lah kita ada banyak kelebihan makanya load factor membaik. Tapi juga karena penerbangan kita berkurang nggak sebanyak dulu.
Kementerian BUMN minta maskapai pelat merah fokus garap rute domestik, Garuda mau nggak?
Statement itu sebenarnya kurang lengkap, jadi pak Erick dan kami memang menyepakati untuk fokus ke domestik, karena marketnya besar, sebelum pandemi juga sudah bagus trennya, ngapain sih masuk ke market yang sok-sokan saingan. Tapi itu memang ada komanya, internasional silakan saja asal membawa keuntungan dan atau membawa produk ekspor, kargo.
Problemnya adalah Garuda itu dulu terbang ke mana-mana di rute internasional loba gaya kalau orang Sunda bilang, gaya-gayaan aja. Saya ini juga kan penumpang basic-nya puluhan tahun, seringkali terbang pakai Garuda di rute internasional yang isinya cuma beberapa gelintir orang, tapi terbang aja terus. Dengan rute yang aneh-aneh, maksudnya bukan rute favorit orang Indonesia juga, tapi tetap terbang. Saya nggak tahu kenapa dulu begitu, entah mandat pemegang saham, dalam hal ini pemerintah, harus terbang demi kenalkan Indonesia.
Cuma sekarang yang paling penting adalah ke depan kita mesti review dengan tepat bisnis penerbangan internasional itu. Kita prinsipnya harus disiplin, penerbangan internasional itu dilakukan selama itu menguntungkan. Kalau nggak untung ya ngapain juga kan terbang.
Rute andalan internasional, selain ke Arab Saudi untuk haji dan umrah ke mana lagi?
Australia, Singapura, Jepang beberapa bulan tertentu naik penuh sekali, di bulan lain agak sepi. Penerbangan internasional itu kita fokus menyambungkan Bali. Alasannya sederhana, kalau kita terbang ke Bali kan bawa turis asing, kalau di Jakarta kan isinya orang Indonesia. Jadi bukan masalah terbang dari mana, tapi sebaiknya isinya itu juga membawa turis. Kita ada tahu harga kita nggak murah, kita bertanggung jawab bawa turis yang mau spending banyak dan bisa bantu ekonomi. Bukan turis murahan, sampai Bali, beli kaus bir Bintang, beredar di Kuta, itu jelas bukan penumpang yang mau kita bawa.
Penerbangan domestik trennya seperti apa sekarang, ada banyak pembukaan rute baru lagi kah?
Jadi, saya justru sekarang lagi banyak bicara sama walikota sama gubernur, mengajukan permintaan maaf bahwa kita di beberapa lokasi nggak bisa terbang karena bukti selama ini rugi. Kenapa rugi? Karena jumlah penumpangnya dan kedua domestik itu terikat di rezim TBA-TBB, harga itu kita nggak bisa jual bebas.
Kalau di satu rute diterapkan satu harga yang maksimum terus kita terbangkan isi 90% dan juga masih minus kan cuma orang bodoh yang mau terbang lanjutan.
Makanya kita juga terus menerus pembicaraan ke Kemenhub, kita menganggap bahwa sebaiknya itu tarif lebih dibebaskan dalam menentukan harga. Selama ini sih memang ditolak. Cuma sampai sekarang setahu saya masih banyak juga maskapai jual di atas harga nggak diapa-apain, bingung juga saya. Kita nggak boleh jual di atas harga ini, tapi ada maskapai yang jualan di atas harga terbang terus. Dikasih peringatan, ya peringatan aja. Padahal secara UU katanya kalau lewat beberapa hari nggak boleh terbang. Kok masih bisa itu?
Kita sih masih diskusi terus daripada Anda salah mending dibuka aja, sehingga kita bisa jual di harga yang menurut kita menguntungkan. Karena pertanyaannya, saya ini terus mendapatkan tekanan untuk terbang murah segala macam, tapi saya balikin tugas saya kan memastikan perusahaan ini untung. Saya juga nggak mau gaya-gayaan terbang isi load factor 100%, dengan harga murah meriah, orang happy tapi kita jebol, kalau kita jebol kan lama-lama orang juga nggak happy naik kita. Atau ya kita korbankan banyak hal termasuk keamanan terbang, ya jelas kita nggak mau.
Jadi ya akhirnya memang pilihan ada di masyarakat sendiri. Cuma kita as much as possible selalu jual di harga yang sesuai dengan peraturan berlaku.
Soal tarif batas itu, apa ada diskusi untuk dinaikkan apabila opsi dihapuskan tidak akan diberikan?
Kita ya coba juga itu karena akhirnya nggak dikasih. Ya, sedang ada diskusi. Kita masih nunggu juga sih. Tapi pada dasarnya begini, menurut saya sebagai pelaku industri, regulator itu semestinya mengatur dua urusan utama, terkait dengan safety yang nggak boleh dilanggar sama pelaku dan pemain industri ini, yang kedua mengenai hak konsumen.
Urusan komersial semestinya nggak perlu diatur, ketika publik marah naik pesawat ke Surabaya misalnya kok jadi mahal sekali sekarang, ya naik kereta aja kalau bisa. Kita ada datanya, di bawah 5% orang Indonesia yang gunakan pesawat. Ya artinya, kayak saya zaman dulu aja, kita kalau mudik ya nggak naik pesawat, ya bawa mobil, karena mahal pesawat, nyampe aja kok mudik. Nggak ada masalah juga kan.
Terbang kan memang mahal, perawatannya segala macam, keamanannya. Ini kan bukan mobil, kalau mobil mogok ya kita bisa minggir sebentar. Ini kan nggak bisa. Terbang itu memang mahal, terbang nggak buat semua orang, kita juga heran kalau ada yang jual kelewat murah.
Buat kita, clear aja kalau ada yang minta Garuda nambah penerbangan, Garuda sudah terpuruk gila-gilaan. Siapapun boleh omongin penyebab keterpurukan. Tapi, menurut saya ada satu fundamen dasar keterpurukan, yaitu perusahaan ini nggak untung. Ya kan? Mau karena apa ya bisa menuding siapapun apapun silakan saja. Dan itu nggak ada artinya tudingan itu kalau kita tetap jalankan perusahaan tetap negatif, kita mau jadikan perusahaan ini positif.
Saya sering dapat kemarahan banyak orang, caci maki, wali kota, menteri, dan segala macam. 'Pak, nggak untung.' Kalau mau menyuruh saya membuat BUMN nggak untung kan bisa digugat lho, sehingga kalau ini perusahaan nggak untung saya bisa kasih lihat, ini ada surat. Ada dalam bentuk permintaan halus, ngobrol santai, sampai ada yang maki-maki segala macam. Makian jadi rayuan.
Jadi Garuda tetap mau fokus internasional daripada domestik, apakah saat ini makin selektif urusan rute?
Nggak-nggak, ya kita tetap domestik juga, penumpang kita lebih banyak domestik. Kalau lebih selektif nggak juga, ya kita memang adjusment rute dan jadwal dan destinasi kita lihat lah ini nggak bisa misalnya diminta 5 kali sehari, ya kita sekali sehari aja di sana. Kalau butuh tambahan, tambahin lagi, sampai di titik jenuh, ya sudah di situ saja berhenti.
Penerbangan kan harus align sama kegiatan masyarakat. Ini business travelers saja ada opsi zoom sekarang. Kemudian, perusahaan juga melakukan adjustment sana sini soal berpergian. Belum e-commerce, dari Indonesia mau beli badang apapun di manapun bisa saja kan nggak perlu terbang ke sana. Jadi memang banyak adjustment yang kita waspadai dan ikuti.
Jadi kalau saya sih nggak mau ekspansif gila-gilaan, beberapa airlines sih ekspansinya gila-gilaan. Ya silakan monggo aja. Pengalaman buruk Garuda juga kan karena ekspansif, tapi tidak diukur. Ya balik lagi nggak mau saya salahkan yang dulu.
Jadi makin slow but sure aja pengembangan usahanya?
Nggak juga sih yang penting saya prinsipnya untung. Saya akan fokus ke profitability. Saya akan fokus ke situ. Saya nggak mau lagi ada PKPU di Garuda.
Lihat juga Video 'Garuda Indonesia Ajukan Prosedur Pailit ke Pengadilan AS':
(hal/eds)