Dari Bankir, Kini Pimpin Diplomasi Ekonomi Global RI

Wawancara Khusus Wamenlu, Pahala Mansury

Dari Bankir, Kini Pimpin Diplomasi Ekonomi Global RI

Anisa Indraini - detikFinance
Rabu, 02 Agu 2023 14:12 WIB
Wakil Menteri Luar Negeri, Pahala Mansury
Foto: 20detik/Iswahyudy

Bicara soal EV, beberapa pemberitaan kalau soal negara itu ada Australia dan China yang paling sering dilakukan pendekatan untuk bisa kerja sama membangun industri baterai kendaraan listrik. Sejauh ini progresnya gimana?

Sepanjang yang saya ketahui ya untuk progres dari rencana kerja sama dengan salah satu produsen baterai yang besar dari China itu memang berlangsung terus ya, bahkan mungkin pada saat ini sudah ditandatangani 2 rencana kerja sama joint venture antara salah satu BUMN dengan mereka, kemudian juga antara Vale dengan beberapa produsen dari baterai baik itu yang berasal dari US maupun negara-negara lain seperti China juga sudah diselenggarakan, sudah bisa diselesaikan.

Jadi kalau kita lihat memang progresnya cukup baik, tapi kita juga berharap bahwa masih ada beberapa yang kita berharap sudah bisa diselesaikan di tahun ini, seperti misalnya dengan salah satu produsen baterai dari Korea Selatan, kita tentunya berharap bahwa rencana kerja sama tersebut, kerangka kerja bersamanya itu bisa diselesaikan pada tahun ini.

Tetapi juga kita ketahui ada satu bentuk perjanjian kerja sama ekonomi yaitu IPEV, yaitu satu bentuk kerja sama, forum kerja sama ekonomi di Indo Pacific ini yang kita harapkan bisa segera juga direalisir. Kalau nggak di tahun ini mungkin di 2024 nanti, moga-moga ini juga akan bisa membantu mendorong adanya perjanjian kerja sama sehingga Indonesia diharapkan nantinya bisa memperoleh manfaat dari satu bentuk peraturan di Amerika Serikat yang dikenal sebagai inflation reduction act yang ini juga tentunya memiliki pengaruh terhadap bagaimana produk-produk materi baterai, bahan-bahan mineral yang paling utama dalam hal memproduksi baterai untuk bisa mendapatkan insentif dari Amerika Serikat nantinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu adalah sebuah perjanjian kerja sama yang memang kita harapkan akan bisa mendorong Indonesia untuk menjadi salah satu negara nantinya yang bisa mendapatkan manfaat atau insentif dari Amerika Serikat.

Satu lagi soal energi ini juga sempat panas soal impor listrik bersih dari Indonesia yang dilakukan Singapura. Pak Luhut beberapa kesempatan menyampaikan bahwa kita pengin mereka juga ikut membangun atau investasi di Indonesia, apakah ada satu pesan atau misi untuk bisa menuntaskan deadlock itu? Karena kayaknya Singapura inginnya win-win solution tapi Indonesia juga pengin manfaat yang sama

ADVERTISEMENT

Saya rasa kan pemikirannya dari kita semua adalah jangan sampai Indonesia ini hanya menjadi tempat untuk bisa memproduksi listriknya, kemudian industrialisasinya terjadi di negara-negara lain. Kita ingin sebuah bentuk kerja sama yang sekali lagi tentunya menguntungkan bagi kedua belah negara. Apalagi yang paling utama tentunya adalah mengenai kepentingan perkembangan dari industri di Indonesia. Jadi ini yang menjadi panduan kita dalam hal membangun sebuah kebijakan ke depannya dan saya rasa ini yang sudah kita lihat bahwa ke depannya kita berharap Indonesia selain mengimpor atau mengekspor tenaga listrik ke negara-negara lain, kita juga akan bisa menjadi sentra dari produksi bahan-bahan yang dibutuhkan bagi produksi materi untuk bisa membangun pembangkit listrik bertenaga renewable.

Jadi seperti misalnya solar PV yang dibutuhkan untuk bisa memproduksi atau melakukan pengembangan energi bertenaga surya, kemudian inverter dan kebutuhan-kebutuhan lainnya kita berharap itu bisa diproduksi di Indonesia. Kelihatannya pada saat ini dengan sudah ditandatangani sebuah kerja sama, kita akan mengeksplor untuk bisa mengembangkan pembangkit listrik bertenaga renewable di Indonesia dan kemudian bisa menjualnya kepada Singapura misalnya, tetapi juga dengan rencana untuk bisa mengembangkan industri manufaktur di Indonesia ini juga kelihatannya akan jadi satu solusi bahwa kita akan membangun sebuah energi terbarukan bagi negara lain tetapi juga dengan melakukan kegiatan manufaktur di Indonesia.

Tapi ini sekarang prosesnya lebih ke business to business kah atau gimana?

Lebih ke business to business. Jadi kalau kita lihat sebetulnya untuk kerja sama ini nantinya akan dibicarakan bersama tentunya antara PLN dengan otoritas dari listrik di Singapura, kemudian juga antara beberapa IPP (Independent Power Producer) yang nanti akan menyediakan listrik kepada PLN, kemudian juga dengan beberapa industri manufaktur yang nanti akan membangun industri manufaktur tersebut di kawasan di Indonesia.

Selain EV, juga pertanian yang ingin dibantu untuk bisa melakukan kerja sama dengan negara-negara lain utamanya saat ini dengan kondisi masih adanya perang antara Rusia dan Ukraina. Seperti apa yang akan dilakukan?

Jadi salah satu yang memang diupayakan dan kami dari Kementerian Luar Negeri tentunya juga bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian untuk bisa melakukan upaya-upaya diversifikasi dari sumber-sumber pangan yang berasal dari negara-negara lain apakah itu untuk gandum misalnya, kemudian juga protein daging misalnya yang berasal dari sapi, kemudian juga potes sebagai salah satu bahan produksi untuk pupuk yang memang menjadi salah satu kebutuhan untuk bisa meningkatkan adanya ketahanan pangan di Indonesia. Ini merupakan tiga bahan makanan dan mineral yang sangat penting bagi ketahanan pangan di Indonesia dan kita melihat potensi untuk bisa bekerja sama dengan negara-negara lain seperti Kanada, Brazil, Argentina, jadi negara-negara Amerika latin dan terus mengupayakan mengeksplorasi dari Australia misalnya untuk bisa bicara mengenai ketiga hal tersebut. Juga selain daripada negara-negara yang memang ada di Asia Tenggara seperti misalnya Laos dan Cambodia.

Saat ini apalagi dengan adanya batasan ekspor yang dilakukan di India, kita juga tentunya mengeksplorasi kemungkinan untuk bisa memperoleh beberapa bahan pangan dari negara-negara yang ada di Asia Tenggara yang selama ini kita sudah memiliki kerja sama cukup baik seperti misalnya Thailand, Vietnam, kita juga minggu lalu mengeksplor untuk bisa berbicara dengan negara lain seperti misalnya Cambodia untuk bisa meningkatkan kerja sama dagang dalam hal bidang pangan tersebut.

Ini agak sulit. Di satu sisi kita ingin perdagangan global ditingkatkan, sementara di satu sisi banyak negara saat ini di tengah situasi yang pelik melakukan proteksionisme termasuk India melakukan pembatasan ekspor. Gimana cara Kementerian Luar Negeri bisa berdiplomasi dan merasionalisasi kondisi yang ada saat ini?

Saya pikir semua negara tentunya berkepentingan untuk bisa mengeksplorasi sebuah kerjasama yang memang saling menguntungkan dengan kedua belah negara. Seperti misalnya pada waktu kita bicara dengan negara-negara seperti Kanada, Brazil, mereka juga sangat terbuka sebetulnya untuk bisa mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Tetapi tentunya kan masing-masing negara tersebut juga melihat bahwa yang paling utama sebenarnya adalah ketahanan pangan domestik yang dimiliki. Tetapi sebagian besar dari negara-negara tersebut pada saat ini kalau kita lihat mereka memiliki jumlah produksi pangan atau bahan-bahan yang dibutuhkan seperti potes tadi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan mereka di dalam negeri. Kebetulan saja negara seperti India memang memiliki jumlah total populasi yang sangat besar bisa mencapai kurang lebih sekitar 1,5 miliar penduduknya.

Jadi itu mungkin satu hal yang agak unik memang, tapi negara-negara lain seperti misalnya Australia, Kanada, Brazil adalah negara-negara yang jumlah kawasan atau area pertanian mereka atau kemampuan kapasitas produksi mereka memang cukup jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduknya. Saya sih masih optimis bahwa upaya untuk bisa melakukan diversifikasi hubungan tadi juga bisa kita lakukan, kembangkan terus.

Kemarin ada pertemuan bilateral Pak Pahala sama Menteri Industri Australia, apa pembahasan yang dilakukan saat itu dan itu juga terkait EV kah?

Jadi gini kita ketahui sendiri bahwa Indonesia tadi sudah saya sampaikan kurang lebih menguasai 26% dari cadangan nikel, sementara itu Australia juga menguasai cadangan lithium yang sangat besar juga sebetulnya kalau nggak salah di atas 20-an persen dibandingkan dengan cadangan global dunia. Jadi kedua negara Indonesia dan Australia ini dua-duanya memiliki peran yang sangat penting dalam hal memproduksi baterai NMC lithium ion ke depannya dan kita masih melihat bahwa baterai jenis NMC ini memang memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis baterai lainnya, LVT misalnya.

Jadi ini yang memang kita bicarakan bagaimana supaya kedua kekuatan ini bisa berkolaborasi. Memang pada saat ini kan belum ada satu bentuk kerjasama baik itu JVA atau kerja sama dalam bentuk supply agreement yang memang sudah konkret dimiliki oleh kedua negara. Ini yang memang kami dari Kementerian Luar Negeri bersama Menkomarves, Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian ingin melakukan sebuah eksplorasi bersama Australia untuk melihat bagaimana kemungkinan kolaborasi atau pembentukan JVA ini kesempatannya ada di mana nih antara Indonesia dengan Australia.

Berarti call to action-nya bentuk JVA itu?

Salah satu yang akan kita bicarakan kemungkinan besar akan seperti itu. Kalaupun tidak memungkinkan, mungkin dalam bentuk sebuah supply agreement antara produsen bahan materi. Karena kan misalnya kalau kita lihat di mata rantai produksi bahan baku baterai ini, untuk memproduksi katode misalnya salah satu materi baterai ini kan membutuhkan cobalt dan lithium yang cukup tinggi, jadi ini yang memang kita harapkan bisa ada sebuah diskusi mengenai bagaimana supply agreement atau joint venture untuk bisa melakukan investasi bersama sehingga nantinya bisa ada satu kerja sama yang cukup strategis antara perusahaan-perusahaan di Indonesia dan perusahaan Australia.

Bicara soal karir Pak Pahala yang banyak dihabiskan di BUMN sebagai bankir, kemudian jadi direksi di berbagai macam BUMN juga, terakhir di Kementerian BUMN sebagai Wakil Menteri BUMN dan saat ini diamanatkan jadi Wakil Menteri Luar Negeri. Ada perbedaan yang harus dieksplor lagi nggak untuk bisa melakukan harmonisasi kerja dari satu kementerian ke kementerian lainnya khususnya saat ini di Kementerian Luar Negeri?

Sangat sih ya karena contohnya kalau kita bicara di Kementerian BUMN itu kan sifatnya sangat korporasi sekali ya dan mungkin di beberapa hal terlibat langsung dalam hal misalnya salah satu inisiatif project pengembangan misalnya untuk produksi baterai secara terintegrasi dari hulu ke hilir, tapi kalau cara kerja di Kementerian Luar Negeri kan tentunya lebih strategic dan lebih lihat kebijakan secara keseluruhan, lebih mendorong dan memfasilitasi. Jadi ini juga yang tentunya merupakan salah satu perbedaan dalam cara kerja nantinya.

Di bank kan biasanya kerjanya cepat, taktis. Sementara kalau hubungan diplomasi luar negeri tuh nggak boleh harus cepat-cepat harus slow but sure, itu juga jadi tantangan?

Saya sih kalau dari sisi kecepatan dan juga dari sisi bagaimana merespons, saya cukup surprise melihat bahwa di Kementerian Luar Negeri bukan artinya tidak cepat dalam hal merespons, mem-follow up satu kesempatan. Kalau saya lihat memang bentuk dari produk atau hasil kerjanya kan memang sangat berbeda sekali. Dalam bentuk diplomasi yang kita tentunya memfasilitasi, membuka pintu, mendorong adanya kerja sama, mendorong adanya kedua belah pihak untuk bisa ketemu, ini yang kita upayakan dilakukan di Kementerian Luar Negeri. Kalau di BUMN kan mereka harus melakukan bentuk transaksinya ini seperti apa, kemudian membuat perjanjian ini seperti apa.

Atau ada gaya di Kementerian BUMN yang akan diadaptasi Kementerian Luar Negeri?

Saya rasa nanti kita bisa lihat mungkin dari sisi karena saya memang terlibat langsung pada waktu sebelumnya dalam bentuk inisiatif-inisiatif joint venture atau global partnership yang ada, mungkin bentuk itu yang nanti akan kita coba untuk lihat bagaimana baik itu di Kementerian Luar Negeri di pusat, di Jakarta, ataupun yang ada di masing-masing perwakilan untuk bisa mengupayakan terlibat keterlibatannya seperti apa dalam hal mendorong deliverables yang lebih konkret.

Saya rasa ini juga salah satu bentuk yang sempat disampaikan juga oleh Pak Presiden bagaimana saya secara langsung bisa mendorong terjadinya deliverables, adanya kerja sama yang konkret antara entitas ataupun perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia dengan entitas yang ada di negara lainnya. Jadi ini mungkin salah satu bentuk yang akan saya coba lihat bagaimana ini bisa diimplementasikan di Kementerian Luar Negeri.

Tugas yang berat tuh untuk bisa memastikan suatu bentuk kerja sama yang konkret bisa dihasilkan Pak Pahala dan tugas berat itu harus diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun bisa kita bilang karena Pemilu sendiri akan diadakan Februari tahun depan which is 6 bulan dari sisa masa jabatan yang akan diemban, kemudian di Oktober akan ada pergantian kabinet lagi. Ada target KPI atau target spesifik yang ingin dicapai dari Pak Pahala di Kementerian Luar Negeri?

Ya memang dalam waktu jangka pendek ini kan Indonesia saat ini sedang menjadi chairman dari ASEAN, jadi ini merupakan salah satu bentuk momentum positif saya lihat, bahwa waktu kita menyelenggarakan KTT ASEAN nanti antara 5-7 September Bagaimana dalam salah satu forum yang merupakan salah satu side event yang penting yaitu ASEAN Indo Pacific forum nanti kita bisa membangun dan memfinalisasi rangkaian dari deliverables yang merupakan salah satu bentuk konkret kerjasama antara negara-negara ASEAN dan juga dengan negara-negara di Indo Pacific lainnya khususnya dalam hal green infrastructure, kemudian dalam bentuk digitalisasi, sustainability financing dan kerja sama di bidang tourism dan industri kreatif, karena kalau kita lihat di bidang tourism dan industri kreatif ini merupakan salah satu sektor khususnya pasca pandemi yang secara konkret memang sudah kita lihat mampu untuk bisa berkontribusi secara cukup signifikan di negara-negara khususnya yang ada di ASEAN dan juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hal penciptaan lapangan kerja.

Jadi di 4 sektor ini kita harapkan nanti pada 5-7 September akan ada rangkaian deliverables yang nanti akan kita monitor dalam bentuk 1 tahun ke depan untuk bisa betul-betul direalisasikan kerja samanya itu sudah lebih konkret lagi. Misalnya kalau yang ditandatangani nanti itu dalam bentuk half of agreement, tentunya kita harapkan dalam satu tahun ke depan itu sudah ada bentuk joint venture agreement bahkan kita harapkan sudah ada lebih jauh dari itu mungkin sebagian daripada kegiatan investasi yang diharapkan sudah bisa terealisir.

Kemudian yang agak lebih jangka menengah panjang adalah penyelesaian sebuah rencana grand design economic policy yang memang sebelum saya bergabung, ini sudah menjadi salah satu fokus dari Kementerian Luar Negeri untuk bagaimana bisa menjadi sebuah panduan bagi Kementerian Luar Negeri dan kementerian/lembaga lainnya seperti Kementerian Bappenas, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan kantor-kantor Menko untuk bisa melihat Bagaimana bentuk diplomasi ekonomi Indonesia ke depan sesuai dengan fokus-fokus yang memang akan kita jalankan.

Seperti misalnya upaya-upaya untuk bisa meningkatkan ketahanan energi, ketahanan pangan, ketahanan kesehatan dan juga hal-hal yang tadi kita bicarakan seperti critical mineral dan global supply chain, atau bagaimana kita bisa mendorong agar adanya hilirisasi. Jadi ini satu hal yang memang sebuah fokus kita supaya nanti di masa berikutnya sampai kita berharap 2045 nanti ini bisa menjadi panduan buat kita bersama bagaimana bentuk kerja sama kita ke depannya dalam bentuk diplomasi ekonomi akan mengikuti pola dan bentuk-bentuk kerja sama tersebut.

Jadi guideline diplomasi ekonomi itu akan dituntaskan sama Pak Pahala penginnya nanti?

Iya di Kementerian Luar Negeri lah, jangan saya saja hahaha.


(aid/eds)

Hide Ads