Saya kenal pak Erick dari 2006-2007. Kita pernah bekerja bersama di sebuah media, dan saya paham sekali apa namanya sikap dan keyakinan spiritual Pak Erick. Kita wawancara di rumah ibadah tempat keluarga pak Erick dan Pak Erick menolak untuk menggunakan simbol-simbol keagamaan. Peta jawabannya simple aja, untuk menjaga spirit kebangsaan supaya tetap solid gitu. Ini kan bicara kontes politik paling tidak 10 tahun terakhir diwarnai dengan kondisi tidak mengenakkan. Ada orang bilang politik identitas, yang kiri merasa paling benar, kanan merasa paling benar, dan mereka tetap ada di kiri dan di kanan. Bagaimana kemudian pandangan pak Erick terkait dengan itu dan apa yang bisa kita lakukan sehingga apa yang terjadi di 2014 bahkan yang cukup buruk di 2019 tidak terulang?
Ya kemarin kan bagaimana pemimpin bangsa memberikan contoh ketika setelah pemilu itu Pak Jokowi dan Pak Prabowo bergabung dan langsung kita menghadapi Covid bersama. Kita itu sukses menangi Covid karena apa sih, dua hal Kolaborasi dan peduli. Kolaborasi dan peduli. Nah inilah yang saya rasa kenapa dengan hal-hal yang kita rasakan hari ini pertumbuhan ekonomi baik karena kita baik. Dan kita solid.
Tapi gini, tetap kita nggak boleh jadi innocent ya. Negara maju pun seperti Amerika, isu perbedaan masih tinggi. Dan mereka menghadap lagi pemilu. Nah saya ya memohon lah, walaupun kita ada perbedaan,itu hal yang lumrah Allah SWT memberikan itu, tetapi jangan berkah yang sudah diberikan kepada Indonesia ini, apakah itu sebuah kekayaan, atau pun kekuasaan, atau jabatan, nah harus benar-benar dijaga, itu memang berkah yang solusi.
Ya kalau kita mampu bersedekah, ya. Kita lebih membantu. Ya memang mesti usaha tapi bukan usaha semuanya jadi sendiri. Sama, ketika kita memegang kekuasaan itu ya kembali berkahnya harus dijaga, memberikan solusi bukan ambisinya. Nah ini yang saya rasa faktor ambisi ini tidak mudah, karena ini tergantung masing-masing individu. Sama seperti kita bicara akhlak di BUMN, bukan berarti juga ini membersihkan semua oknum yang di BUMN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetap ada korupsi kok. Tapi kalau itu bisa menjadi fondasi yang berkelanjutan ya kita mengharapkan itu lebih baik gitu, bukan menjadi sesuatu yang namanya korupsi tidak ada. Bahkan saya melaporkan sendiri yang namanya kasus-kasus korupsi yang di BUMN ke Kejaksaan Agung, apakah Garuda, Asabri, Jiwasraya, toh masih ada gitu. Nah artinya apa, saya berharap sendiri para pemimpin siapa pun, termasuk saya, ketika kita memang diberi amanah, nah kembali berkah itu ayo menjadi solusi jangan ambisinya. Nah ini yang saya rasa tidak mudah dan kita perlu saling ingatkan. Pak Jokowi saya nggak bisa Bahasa Jawa ya.
Cuma, beliau bicara. Kalau pintar jangan minterin. Gitu kan. Kalau cepat jangan mendahului. Kalau sakti jangan mateni, jangan. Kan hal-hal yang filosofis itu ya saya yakin di semua figur yang akan memimpin punya itu. Tinggal bisa nggak menjaga itu tidak bisa jadi ambisi. Karena pasti semua orang besar apalagi capres-capres pasti punya lah kekuatan itu. Tinggal bagaimana menahan. Menahan itu yang tidak mudah. Jadi ya saya berharap apa yang sudah dicontohkan bangsa ini patut dijaga, terlepas dari perbedaan itu.
Pak Erick ini namanya cukup ramai dibicarakan Di polling milik detik saja dua kandidat presiden itu pemilihnya paling banyak memilih wakilnya pak Erick. Pak Ganjar pemilih terbanyaknya wakilnya Pak Erick. Pak Prabowo pemilih terbanyaknya Pak Erick, gitu. Pertanyaannya kemudian pilih Ganjar apa Prabowo?
Saya rasa gini, nggak bisa milih. Kenapa, ini kan bukan, ibarat kita jatuh cinta sama seseorang, terus pinang-pinangan, inget lho. Itu pun masih ada faktor orangtua loh. Orangtua bilang 'dek' atau 'sayang, yakin?'. Nah ini sama, politik di Indonesia itu ada aturan dicalonkan oleh partai jumlahnya minimal 20%. Artinya apa? Kalau pun kita jatuh cinta sama Pak Ganjar sama Pak Prabowo, koalisinya ada nggak? Nanti kalau kita jatuh sendiri nggak disetujui broken heart, gitu kan.
Kalau saya sih selalu saya sampaikan kedua figur ini figur yang saya hormati. Pak Ganjar dan Pak Prabowo. Koalisinya sendiri sedang berdiskusi, saya tidak tahu diskusinya apa, saya bukan anggota partai. Tetapi saya selalu tekankan dua hal. Satu saya tegak lurus dengan bapak presiden, saya loyal sama beliau. Dan kedua tentu PAN yang sudah bicara panjang untuk saya itu menjadi bagian koalisi di manapun mereka berada.
Saya nggak tahu, ini kan koalisi sendiri kan udah ada Golkar, ada Gerindra, ada PKB, nah bukan berarti saya, karena ya kembali saya nggak mau juga sebagai dalam tanda kutip, kalau garis tangannya ada, sebagai cawapres yang melupakan figur atau partai atau koalisi yang sejak awal mendorong dan menyemangati. Nah itu mungkin menjadi kelemahan saya. Tapi saya nggak mau menjadi bagian yang berkhianat dengan mereka-mereka yang percaya. Dan harus prosedur juga.
Kenapa saya tanya ini karena semakin ke sini ya seperti saya katakan, nama bapak itu termasuk menjadi short listed dari cawapres yang beredar ada nama bapak ada nama beberapa nama yang lain. Dan karena itu juga kemudian angin banyak menerpa. Ini saya perlu konfirmasi ke bapak, soal misalnya bapak memanfaatkan peran bapak di BUMN, melibatkan semua insan untuk memenangkan bapak, menjadi buzzer dan mengirim SMS blast kalau ada yang menyerang Erick Thohir, serang ramai-ramai. Sebelumnya juga bapak selalu disindir wajahnya ada di mana-mana dan lain sebagainya. Jawaban bapak?
Konteks saya saya sudah sampaikan sejak awal. Ketika kita mendorong yang namanya AKHLAK, saya mendorong tidak hanya saya, tetapi figur direksi pun bicara AKHLAK. Ketika kita berkampanye internal, saya sebagai menterinya saya rasa hal yang wajar ketika mukanya ada. Kecuali tiba-tiba kita bicara AKHLAK di tempat privat sector, mukanya saya, atau itu kan hal-hal yang konteksnya ini. Dan apapun, mohon maaf dengan segala kerendahan hati saya, AKHLAK sendiri yang sekarang bergulir di BUMN sekarang kan juga untuk ASN, berakhlak.
Jadi artinya apa? Ada apresiasi besar yang saya yakin almarhum pak Tjahjo Kumolo kita tidak ada kesepakatan, pak kita saling dukung ya, dipakai Akhlaknya. Nggak ada gitu. Ini kan cuma bagian revolusi mental yang didorong pak Jokowi itu memang itu harus menjadi bagian yang real. Kita coba terapkan di AKHLAK. Ataupun misalnya, sekarang orang bicara sepakbola. Saya bicara, kalau mau bersihin sepakbola ya harus punya nyali, supaya sepakbola ini bersih dan berprestasi. Di situlah kenapa mentalnya dulu saya genjot.
Itu kan juga seperti sejarah-sejarah di berbagai negara Meiji Restoration waktu itu, ketika Jepang ingin keluar daripada situasi mereka menjadi negara industrialisasi modern tetapi tidak meninggalkan bushidonya, samurainya. Jadi negara lain ada, jadi kita bukan sesuatu yang ini.
Nah sama, ketika kita bicara promosi mengenai sosial media. Kita tahu konteksnya kalau namanya perusahaan korporasi itu dulu punya website. Gunanya website untuk mengecek laporan keuangan atau apa. Nah sekarang konteksnya BUMN ini kan dua, value creation, artinya apa? Kita melakukan kegiatan usaha supaya negara bisa menyeimbangi atau memberikan solusi. Bukan kita berbisnis dengan rakyat loh. Ini bagian dari bagaimana kita menyeimbangi. Contoh pada saat Covid. Kalau BUMN nggak beli vaksin duluan, tidak mungkin private sector beli duluan. Ya karena belum ada kepastian, tapi kalau kita harus.
Nah agent development, kita harus terdepan mengembangkan. Nah ini harus kita dorong. Nah artinya apa, ketika ada kontradiksi sama pelayanan publik, contoh di kereta api. Ada kontroversi. Oh ini loh kereta api kenapa kok di kelas ekonomi bangkunya masih seperti ini. Langsung kereta api responsif, mengganti bangku itu. Lalu dia mempromosikan, gitu, dan saya membantu promosi itu ketika seorang anak kecil naik kereta ya saya senang aja.
Toh ini bagian dari saya, saya promosikan balik. Seperti misalnya saya juga mempromosikan misalnya program misalnya kerjasama dengan pekerja migran BNI. Saya juga taruh di Instagram saya di TikTok saya. Nah selama konteksnya itu tidak tadi, melakukan kampanye partai atau ayo lah ini, saya rasa ini saling mengisi dan itu terbukti dewan pers melihat ini sesuatu yang jelas, tidak tepat, dan saya kembali, saya menjaga martabat media, karena saya juga orang media, nah saya cuma menginginkan pers kita yang amanah dan bertanggung jawab, dan saya rasa pada saat ini dunia pers kita juga sangat tertantang dengan situasi industri digital.
Serangan itu buat Pak Erick ya, seperti saya katakan mungkin karena sudah tinggi sekali nama Erick Thohir, angin banyak berhembus. Bukan hanya dari teman-teman arus utama juga, tapi juga di sosial media. Kan kita lekat sekali ada beberapa influencer yang terus menerus menceritakan kejelekan, baik kementerian BUMN, BUMN-nya, termasuk juga Pak Ericknya. Dan itu ditambah lagi dengan vendor-vendor yang merasa khawatir, terutama vendor-vendor BUMN karya yang sekarang kondisinya tidak menguntungkan, itu gimana pak?
Kita harus percaya namanya demokrasi bisa membuat Indonesia seperti hari ini. Itu bagian dari demokrasi yang tidak boleh democrazy. Artinya apa? Tidak berdasarkan fakta dan data. Tidak berdasarkan hanya sumber-sumber yang hanya bisa dipertanggungjawabkan. Saya bicara, ketika masalah vendor-vendor, saya tidak pernah bilang, oh itu nggak bener.
Karena kenapa, saya prinsip yang namanya kritik itu justru membuat kita lebih baik. Sanjungan itu menjadi racun. Nah artinya apa, ketika ada isu-isu vendor saya langsung mem-follow up, langsung cek ke para direksinya. Karena kenapa, tadi kembali mohon maaf, saya tidak bisa membela diri. Karena kan situasi misalnya Istaka Karya itu kejadian 2006. Ketika pembangunan Tol Profesor Sedyatmo. Nah saya 2006 mau ke media lama. Jadi saya bukan menterinya.
Tapi gini, jangan sampai hal itu seakan-akan, nah itu kan tanggung jawab yang dulu lah, ya nggak lah. Saya harus memberikan solusi dengan apa? situasi korporasi penyelesaiannya. Istaka Karya itu ternyata 2006-2007, terus udah ada PKPU 2013, yang laporin PKPU juga bukan saya. Nah terus akhirnya jatuh tempo. Nah perlu ada penyelesaian, sama. Ketika kita bicara Jiwasraya, itu tahun 2006 juga terjadi dan terus menerus didiamkan.
Ketika saya lapor Pak Jokowi, dan langsung Pak Jokowi mengirim Pak Jaksa Agung, kita bersama-sama nuntasin, nah itu yang solusi. Apakah solusi ini menyelesaikan segala masalah? Ya saya nggak tahu, saya rasa saya harus coba menyelesaikan. Tapi menyelesaikan segala masalah ya perlu waktu. Karena ini sesuatu yang sudah berjangkit puluhan tahun.
Dan tapi begini, percaya, selam niat kita baik, situasi Garuda, Jiwasraya, Asabri kok bisa baik? Artinya apa, ketika kita melakukan restructuring, hal yang tidak baik tadi dengan cara-cara korporasi mudah-mudahan ada jalan keluar. Apalagi kembali tadi Fito sampaikan, pertumbuhan ekonomi kita masih di atas 5%. Kita mau bicara yang namanya kesejahteraan, kita mau bicara restrukturisasi korporasi, kalau ekonominya sunset atau nurun malah nggak ada jalan keluar. Nah ini kita berharap kita harus memberikan sesuatu yang bisa. Dengan segala keterbatasan itu tapi kita harus ada jalan ke mereka, kasihan mereka.
Sebenarnya saya ingin ngobrol panjang lebar tapi karena waktunya terbatas, ini aja dapat kesempatan udah syukur gitu. Pertanyaan terakhir barangkali pak, Prabowo atau Ganjar?
Tadi saya jawab. Tergantung koalisi, tergantung chemistry gitu. Dan saya gini, Fito kan Fito tahu. Bahwa penting ketika saya bersama seseorang itu saya sudah berulang-ulang bicara chemistry. Karena penting sekali ketika kita diberi amanah, kepercayaan, jangan sampai kita berseteru kasihan rakyat yang bingung. Nah ini harus percaya saling percaya. Jadi harus ada chemistry.
Nggak bisa kawin paksa? Di demokrasi Indonesia kan biasa kawin paksa.
Saya jangan deh mendingan. Nanti malah jadi korban semua lah, jangan lah. Yang kedua kalau saya bilang terlepas dari pasangan, kita memerlukan tim yang kuat. Karena kita menghadapi turbulensi. Tornado besar yang hari ini makin besar. Ada El Nino. Perang Rusia sama Ukraina belum selesai. Kita bicara kelambatan ekonomi di China, Amerika saya belum cek. Artinya apa, ini tornado. Jangan jadi perfect storm juga yang akhirnya perfect tornado yang akhirnya kita nggak siap. Artinya apa, artinya timnya harus ada.
Jadi timnya harus ada yang bisa juga menyelesaikan bersama-sama pasangan untuk apa. Tentu yang tadi terakhir saya bilang. Kebangsaan dan pemerataan ini harus jadi hasil. Apa pun nanti detail arti kebangsaan dan pemerataan itu. Kita harus tarik itu. Jangan sekadar ya kita ini berkuasa, akhirnya justru karena kita berkuasa justru karena sekadar ambisi arah Indonesia menjadi sesuatu yang salah dan sudah banyak negara-negara yang fail step. Saya mendingan kalau hanya posisi itu, mendingan jangan. Balik lagi ke dunia usaha saja. Banyak hal-hal yang bisa dinikmati kok.
Walaupun katanya Agustus bulan baik bagi Indonesia dan masa depan Indonesia, kabarnya ada kejutan-kejutan di bulan Agustus. Bener nggak, Pak?
Ya kita berdoa nih ada Masjid At Thohir.
(eds/eds)