Dan kini, saat harga minyak sudah mendekati level yang menurut Presiden SBY sudah SOS, semua kebakaran jenggot. Program-program hemat energi pun kembali dilirik.
Akankah program ini akan menjadi aturan usang seperti masa lalu? Ketua Tim Penghematan Energi dan Air Eddie Widiono memberikan berbagai penjelasannya, termasuk program-program penghematan plus perubahan kultur hemat energi yang kini sudah sangat mendesak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mau sampai kapan kewajiban penghematan ini dilakukan?
Kita harapkan ada proses getok tular. Gimana caranya 220 juta orang bisa sadar, ini adalah culture change. Memang harus dimulai top down, makanya kita mulai pertama kali di pusat, kita mulai di sekitar Monas, yang tempatnya pejabat-pejabat, tempat orang-orang yang memimpin bangsa ini, termasuk Istana Presiden, Istana Wapres, Mahkamah Agung. Dari situ, kita harapkan ada yang paling tinggi misalkan dari 47 pengelola gedung ada 10 yang tertinggi penghematannya, kita ajak gugus tugasnya keliling Indonesia. Karena setelah pilot project, kita akan perluas program ini ke Jakarta di lima wilayahnya, kita juga akan sebarkan ke ibu kota propinsi, kan butuh narasumber, dan kesaksian. Mereka jadi saksi.
Kapan?
Dalam satu dua bulan ini kita harus tentukan 10 tertinggi, lalu ke lima wilayah, dan gurbenur akan meluncurkan di wilayahnya masing-masing. Diharapkan Oktober sudah bisa semua.
Auditnya bagaimana?
Mereka kita rancang untuk menentukan sendiri targetnya, kita kasih ancer-ancer saja, sebesar 20% dari penggunaan sebelum 1 Juli. Jadi berapa Anda pakai per bulan, mereka harus bisa turunkan 20%. Pemenangnya adalah siapa yang bisa lebih cepat mencapai 20% itu. Dugaan kita, bulan-bulan pertama turunnya penghematan akan cepat, tapi kemudian melandai. Nah, di situlah kita akan lihat lagi. Kalau sudah melandai, kita lihat inovasi mereka untuk bisa tetap melakukan penghematan. Di sinilah barangkali mulai perlu modal. Seperti misalkan untuk sistem kontrol yang boros harus diganti. Semua dilombakan. Kita juga harus cari juara nasionalnya.
Kalau mereka cuek-cuek saja, bagaimana? Sanksinya apa?
Saya nggak bilang sanksinya apa, tapi ada. Setidaknya yang pertama sangsi moral. Kalau ESDM misalkan, yang biangnya energi tidak bisa mencapai penghematan 20%, APA KATA DUNIA? Hahahaha.
Tapi kalau swasta kan, selama mereka punya duit, cenderung pakai semaunya?
Itu mental yang harusnya diubah. Harusnya malu dong kalau ngomong gitu, kita harus sadar, kalau yang kita pakai saat ini nggak akan kembali lagi, BBM, batubara, yang merupakan hasil proses jutaan tahun lalu. Jadi kalau sekarang kita habiskan, kita hanya berharap, jutaan tahun lagi baru kembali.
Kalau nggak ada sanksi apa bisa berjalan signifikan?
Sanksi akan ada, tapi tidak saat ini. Sekarang ini kita butuh sesuatu yang mendorong. Penghematan itu butuh inovasi, bukan ditakut-takutin. Inovasi muncul dari suasana yang bebas. Tetapi bukan berarti nggak ada sangsi, paling nggak ada sangsi. Kalau nggak hemat, nanti dibilang, kuno lo, jadul, lo.
Apa bentuk penghematan lainnya?
BBM. Dari 60 juta KL konsumsi BBM nasional, 34 juta untuk transportasi. Jadi ini angka yang besar sekali. Saya nggak tahu berapa konsumsi BBM pemerintah untuk transportasi pegawai. Tapi logikanya, pemborosan BBM terjadi di daerah yang macet. Berdasarkan logika itu, kita dorong agar kantor di daerah pusat mencari cara untuk menekan perannya sebagai traffic generator.
Misalkan Pemda DKI, ada ribuan pegawai, setiap pagi masuk kantor dan pulang kantor ada traffic yang luar biasa, itu traffic generator, karena orang lebih suka pakai kendaraan pribadi. Alasannya bermacam-macam. Sekarang top down-nya, kita harus beri target untuk mengurangi traffic generator. Gimana mengurangi traffic ke kantor dan keluar kantor berkurang.
Caranya gimana? Penggunaan kendaraan pribadi dibatasi. Kendaraan umum difasilitasi. Juga kegiatan non-motorized, itu yang harus diterapkan, gimana caranya, mereka lebih tahu. Pertama bentuk gugus tugas sebagai pelaksana dan pemikir. Karena harus ada yang memikirkan. Misalkan pegawai yang pulang dan pergi kantor disediakan kendaraan. Ini akan menciptakan disiplin, pergi dan pulangnya bareng-bareng pada waktu yang ditentukan. Makanya harus dijaga ritme kerja untuk meminimalisir lembur. Karena kalau lembur, pegawai harus membawa kendaran pribadinya. AC dan lampu harus tetap dinyalakan. Jadi kerja harus efisien.
Yang lain adalah, naik kereta saja, nanti dijemput di stasiun Gambir. Difasilitasi voucher kereta api, kalau rumah di Ragunan, dikasih voucher Busway. Atau mau naik sepeda, kalau nggak mungkin naik sepeda dari Bekasi mungkin bisa sampai Halim saja nggak papa, dari Halim naik sepeda kesini.
Hal-hal seperti itu tidak bisa diatur dari pusat, karena harus customized dengan kondisi tiap kantor.
Bagaimana dengan penghematan air?
Penghematan air agak lebih sulit langkah koordinasinya, karena pengelola air permukaan dan bawah tanah berbeda. Air bawah tanah dikelola Departemen ESDM, sementara air permukaan oleh Departemen PU. Masing2-masing mengeluarkan aturan sendiri-sendiri. Sehingga dalam implementasinya, perlu koordinasi yang erat.
Selain itu sangat sulit mengetahui konsumsi air. Yang ada paling hanya angka air minum, tapi bukan representasi signifikan. Misalkan di Jakarta 200 liter per hari per orang katanya, tapi data itu harus dipertajam, saya dengar akan ada dewan sumber daya air di PU. Jadi tim ini akan menjembatani.
Kekurangan air baku di Jakarta sudah sangat signifikan. Air baku adalah air yang bisa diolah jadi air minum. Layanan air PAM saat ini nggak sampai 40% dr masyarakat, sisanya pakai air tanah. Karena air tanahnya disedot terus, karena pengawasannya kirang, menyebabkan satu, interupsi air laut. Kedua, air limbah domestic, grey water, bisa diolah.
Kita harus mulai, penghematan di air harus lebih kencang, karena dari dulu kita terbiasa melimpah. Misalkan pemakaian buat nyiram mobil atau tanaman, Kalau grey water diproses ,bisa cukup baik untuk dipakai yang seperti itu. Itulah pentingnya hemat air.
Kalau semua berjalan lancar, perubahan signifikan apa yang akan terjadi?
Bangsa Indonesia akan jadi bagsa yang hemat energi. Mudah-mudahan kita bisa mengurangi elastisitas energi kita terhadap GDP bisa ditekan. Bisa dibawah satu lah, sekarang 1,8. Elastisitas adalah peningkatan konsumsi energi vs peningkatan GDP. Kita harapkan elastrisitas kita bisa menjadi 1 pada 2025. Segala bentuk energi kita upayakan agar menaikkan GDP tidak perlu energi yang banyak. Di Eropa 1,2. Jerman malah minus.
(lih/qom)