"Kita mendukung revisi UU (Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang anti monopoli) ini, tapi substansinya yang harus diubah. Bukan untuk menambah kewenangan KPPU. Karena substansinya yang amburadul. Kalau tidak, yang terjadi kan kontraproduktif. Karena UU persaingan usaha itu bukan dimaksudkan untuk membunuh, tapi menciptakan persaingan yang sehat," ujar Ketua Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono dalam bincang bisnis di Ibis Hotel Harmoni, Jakarta, Rabu (2/11/2016).
Dalam revisi tersebut, KPPU akan mengubah denda dari sebelumnya maksimal Rp 25 miliar menjadi 30% dari penjualan atau omzet. Menurut pengusaha, aturan ini tidak mendukung kegiatan usaha karena perlakuan denda dan berakibat kontra produktif bagi ekonomi, dan ujungnya bisa membuat pelaku usaha gulung tikar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setali tiga uang, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Krissantono, mengkhawatirkan ada penyalahgunaan wewenang oleh KPPU lewat revisi UU anti monopoli.
"Yang kami alami, kami dilaporkan oleh KPPU, disidik, dihakimi oleh KPPU. Jadi fungsi hakim, jaksa digabung jadi satu. KPK saja lembaga peradilannya beda, ada tipikor. Tidak KPK yang menghakimi. Beda dengan KPPU. Jadi susah untuk mencari keadilan," jelasnya.
KPPU akan merevisi denda maksimal bagi perusahaan pelaku kartel. Ini akan diatur dalam revisi Undang-Undang (UU) nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Denda maksimal itu akan diubah dari sebelumnya Rp 25 miliar menjadi 30% dari penjualan (omzet)
"Denda kita hari ini masih Rp 25 miliar maksimum. Padahal, banyak pelaku kartel selama ini hitungan kartelnya lebih dari Rp 25 miliar. Tapi, kita tidak bisa menghukum lebih dari itu karena ketentuan UU Rp 25 miliar. Makanya kita ingin ada perubahan yaitu 30 persen dari penjualan," kata Ketua KPPU, Syarkawi Rauf beberapa waktu lalu. (hns/hns)