Eropa Sentimen Soal Sawit RI, Mentan: Jangan Mau Didikte!

Eropa Sentimen Soal Sawit RI, Mentan: Jangan Mau Didikte!

Niken Widya Yunita - detikFinance
Rabu, 12 Apr 2017 16:19 WIB
Foto: Dok. Kementan
Semarang - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman berang dengan Parlemen Uni Eropa. Amran mengancam akan mengevaluasi ekspor sawit dan biodiesel berbasis sawit ke negara-negara Eropa.

"Kalau ada kerja sama yang telah kami tandatangani, kami evaluasi," ujar Amran dalam keterangan tertulis, Rabu (12/4/2017).

Amran menegaskan, pasar sawit Indonesia bukan cuma di Eropa. Karena itu, dia tidak gentar jika negara-negara Uni Eropa sepakat melarang sawit Indonesia beredar di pasar-pasar Eropa. Bahkan sebaliknya, Amran akan meminta eksportir kelapa sawit menghentikan pasokannya ke Eropa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Indonesia jangan mau didikte sama Uni Eropa! Kalau perlu hentikan ekspor sawit kita ke sana!" kata Amran.

Amran menambahkan, hingga kini Indonesia mengkonversi kelapa sawit ke biofuel B-20 sebanyak 3,2 juta ton. Sedangkan Eropa mengimpor 7 juta ton.

"Kami telah minta ke seluruh eksportir jatah yang dikonversi biofuel enggak usah ekspor ke sana. Berikutnya kita masih punya B-30 dan itu kita butuh 13 juta ton. Artinya ekspor kita nanti berkurang karena kita jadikan biodiesel," tambah Amran.

Untuk itu, Amran menegaskan, masalah sawit merupakan urusan pertanian dalam negeri. Karena itu, dia mewanti-wanti agar negara-negara Eropa tidak mencampuri kebijakan pertanian Indonesia. Pasalnya, Indonesia saat ini telah memiliki standar sertifikasi produk sawit dan turunannya atau yang dikenal Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Selain memiliki ISPO, Indonesia juga telah melakukan kerja sama dalam hal sertifikasi produk sawit dengan Malaysia melalui Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).

"Indonesia punya standar sendiri, yakni Indonesian Sustainable Palm Oilm (ISPO). Masa (sawit) kita yang punya, dia yang mau buat standarnya. Itu cerita mana?" tegasnya.

Amran tidak takut jika harus mengevaluasi beberapa kerja sama dengan negara-negara Eropa khususnya Prancis. Pasalnya Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam hal produsen minyak sawit dunia. Bahkan, jika digabung maka Indonesia dengan Malaysia menguasai 80 produksi CPO dunia.

Indonesia sendiri memiliki kedaulatan terhadap sawit. Karena itu, Indonesia berhak melakukan ekspor sawit kepada negara-negara yang memang membutuhkan termasuk menghentikan ekspor ke negara-negara Eropa.

"Palm oil Indonesia dan Malaysia gabung itu 80 persen (dari produksi CPO dunia). Negara Eropa kita supply hanya 3,2 juta ton per tahun untuk biodiesel, itu kecil," tegas Amran.

Lebih lanjut, Amran menjelaskan, salah satu yang dipermasalahkan oleh Uni Eropa juga yakni adanya perluasan perkebunan sawit yang akan menyebabkan kerusakan hutan. Padahal setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia selalu berupaya menjaga kelestarian lingkungan termasuk kesejahteraan manusia di dalamnya.

"Masih ingat, Presiden melakukan moratorium untuk sawit di lahan gambut. Jadi luar biasa perhatian Presiden kepada lingkungan," jelasnya.

Terkait hal ini, Mentan balik menuding resolusi terhadap sawit Indonesia ini merupakan upaya kampanye hitam yang bertujuan untuk menjatuhkan harga sawit Indonesia di tingkat Internasional. Dia pun memastikan akan melawan kebijakan Uni Eropa tersebut mengingat resolusi ini telah mengancam kelestarian hutan di Indonesia.

"Kalau Negara Eropa selalu melakukan black campaign kepada palm oil Indonesia dan Malaysia ini berbahaya. Sebab secara tidak langsung mereka (Uni Eropa) yang memicu kerusakan hutan. Kenapa? karena ada community di bawah sawit, ada pekerja sawit, kurang lebih ada komunitas sebanyak 11 juta hingga 30 juta jiwa. Kalau harga CPO jatuh, petani pasti cari penghasilan lain. Kalau cari penghasilan lain, pasti pergi babat hutan. Siapa yang bisa tahan itu," katanya.

Amran mencatat, ada beberapa negara seperti Prancis yang selalu getol melakukan kampanye hitam terhadap sawit Indonesia. Mereka ini mengimpor sawit dalam skala kecil, yakni 200 ribu ton. Amran memastikan pihaknya kini tengah mengevaluasi kerja sama di bidang pertanian dengan Prancis.

Tidak hanya itu, Amran juga heran terhadap kebijakan Uni Eropa yang seakan-akan menganggap lebih penting menyelamatkan Orang Utan di Kalimantan ketimbang manusia yang hidup di dalamnya.

"Mereka menaruh perhatian pada Orang Utan di Kalimantan, sementara di bawah sawit ini orang benaran. Bukan Orang Utan yang cari hidup. Jadi ingat pendekatan (CPO) bukan hanya environment, tapi kesejahteraan," tuturnya.

Oleh karena itu, Amran pemerintah akan mendorong eksportir CPO dalam negeri agar fokus pada pasar besar yang tidak mempersoalkan CPO. Negara yang dimaksud Amran yakni India, China, Pakistan, Bangladesh, Turki dan negara lainnya.

"Eropa minta macam-macam standar, tapi belinya cuma sedikit. Kita minta ke negara eksportir CPO jangan ekspor ke Eropa lagi. Kami sudah sampaikan, ada community di bawah CPO, ada pedagang, petani, ini jauh lebih penting. Orang Utan saja diperhatikan, ini orang asli. Jadi pendekatannya jangan deforestasi, tapi community welfare (kesejahteraan). Ini masalah harga diri bangsa, masalah Merah Putih, kita jangan mau diatur Eropa," ucap Amran.

Sebelumnya Parlemen Uni Eropa menilai, sawit di Indonesia masih menciptakan banyak masalah mulai dari deforestasi, korupsi, pekerja anak-anak, sampai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Indonesia oleh parlemen Uni Eropa bahkan dilarang untuk mengekspor sawit dan biodiesel ke negara lain.


(nwy/hns)

Hide Ads