"Ternyata Indonesia produsen kelapa sawit nomor satu di dunia. Indonesia juga produsen nomor 1 komoditas pala, cengkeh, lada, dan kayu manis. Belum lagi Indonesia produsen nomor 2 karet dunia. Sementara untuk kopi dan kakao Indonesia menjadi produsen nomor 3 dunia," ujar Kepala Biro Humas Informasi Publik Kementan Agung Hendriadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (3/7/2017).
Publik juga selalu dijejali bahwa produksi pangan (beras) Indonesia selalu defisit sehingga tak pernah dapat keluar dari jebakan impor. Faktanya dari 416 kabupaten di tanah air, sebanyak 257 kabupaten surplus beras.
Hanya 159 kabupaten yang defisit. Pulau Jawa yang selama ini seolah-olah diberitakan paling mengalami defisit pangan justru hanya memiliki 15 kabupaten yang defisit sementara 70 kabupaten mengalami surplus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal tersebut dapat dipahami karena sebetulnya secara tradisional makanan pokok mereka bukan beras sehingga tradisi mereka bertanam padi, terutama Papua, masih lemah. Pasokan pangan nasional aman karena kabupaten yang surplus memasok beras ke kabupaten yang defisit," tuturnya.
Bahkan, lanjut Agung, pada 2016 para petani berhasil mengulangi prestasi Indonesia—-seperti 32 tahun lalu—-pada 1984 dengan mencapai swasembada beras. Dengan kata lain Indonesia berhasil keluar dari jebakan impor beras yang memerangkap lebih dari 3 dasawarsa. Prestasi para petani itu layak diapresiasi karena sebetulnya pada 2016 Indonesia dengan jumlah penduduk 258,48-juta jiwa tengah dilanda la nina alias musim kemarau basah yang rawan banjir.
"Kita tentu ingat ketika la nina melanda pada 1999, Indonesia yang harus memberi makan 204,78-juta jiwa harus mengimpor 5,04-juta ton beras. Bahkan setahun sebelumnya, saat Indonesia diserang el nino, Indonesia terpaksa mengimpor 7,1-juta ton beras karena harus memberi makan 201,54-juta jiwa. Pemerintah yang harus memastikan warganya—-yang terus bertambah-—untuk memperoleh makan berhasil keluar dari jebakan impor melalui kebijakan upaya khusus (upsus) beras dan antisipasi el nino & la nina pada 2015—2016.
"Melalui upsus pemerintah memantau secara harian luas tambah tanam (LTT) padi dari Sabang sampai Merauke dengan mengerahkan aparat Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian Kabupaten, dan TNI. Pemerintah menyimpulkan paceklik 'permanen' di tanah air terjadi karena selama 16 tahun luas tanam bulanan padi pada Juli—September hanya berada pada kisaran 500—600 ribu ha," paparnya.
Agung menjelaskan solusi paceklik secara permanen ialah menjaga luas tanam bulanan padi pada Juli—September minimal 900-ribu ha. Pemerintah membuat sistem pengawasan ketat untuk memantau luas tambah tanam harian dengan melibatkan seluruh pejabat eselon 1, eselon 2, dan eselon 3 di Kementerian Pertanian.
"Sebelumnya berpuluh-puluh tahun pejabat eselon yang tidak menangani padi, seperti Kepala Pusat Karantina Hewan atau Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias misalnya, tak peduli dengan stok beras di tanah air karena bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) instansinya. Dengan upsus mereka ikut dilibatkan untuk bertanggung jawab," kata Agung.
Menurut Agung setiap pejabat eselon ditugaskan menjadi penanggung jawab provinsi dan penanggung jawab kabupaten yang memantau kinerja para kepala dinas provinsi dan kepala dinas kabupaten di seluruh Indonesia untuk memastikan luas tambah tanam padi mencapai target provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Pemerintah juga meminta TNI dari level desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi untuk turut serta memantau luas tambah tanam tersebut.
"Berikutnya karena data dari Kementerian Pertanian sering dipertanyakan akurasinya oleh banyak pihak, maka BPS bertugas mencatat dan mengoreksi data LTT dari dinas pertanian dan TNI. Semua data utama pada artikel ini juga bersumber dari BPS yang kemudian diolah menjadi informasi oleh tim Kementerian Pertanian untuk menghindari subyektifitas penulis," jelas Agung.
Program upsus juga tidak berjalan sendiri agar produksi beras yang kemudian beranjak berlimpah tak membuat harga beras menjadi jatuh. Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian, Bulog, dan TNI membuat program Sergab alias serap gabah yang melibatkan Babinsa sebagai eksekutor di lapangan. Tim sergab memastikan Bulog di setiap daerah menyerap gabah dengan harga dasar yang telah ditetapkan yang tidak merugikan petani bila harga sedang jatuh.
"Tim Sergab membeli gabah dari sawah petani, rumah petani, dan penggilingan agar tak ada lagi keluhan gabah atau beras tak laku. Pada Maret 2017 tim sergab nasional berhasil menyerap gabah yang setara 425.555 ton beras. Angka itu naik 153% dibanding Maret 2016 setara 167.950 ton beras. Yang menarik, seringkali pada daerah-daerah sentra beras di Sulawesi—seperti di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah—harga pasaran jauh lebih tinggi dibanding harga Bulog. Dengan demikian dapat dipastikan petani di sentra beras di Sulawesi merasakan keuntungan dan kesejahteraan lebih tinggi," tutur Agung.
Agung menambahkan keluar dari jebakan impor beras bukan satu-satunya sukses Kementerian Pertanian pada 2 tahun pemerintah kabinet ini. Kementerian Pertanian juga berhasil mengamankan stok minyak goreng, daging ayam ras, telur ayam ras, dan bawang merah pada Juni 2016 saat Ramadhan. Minyak goreng tersedia 1,79-juta ton, sementara konsumsi hanya 455-ribu ton.
Pun daging ayam ras (256-ribu ton:112-ribu ton), telur ayam ras (261-ribu ton:131-ribu ton), dan bawang merah (102-ribu ton:89-ribu ton). Memang harus diakui meskipun stok keempat komoditi penting tersebut aman, tetapi pada 2016 masih terjadi anomali karena harga di konsumen tetap naik.
"Tentu untuk 2017 Kementerian Pertanian siap sedia membantu Kementerian Perdagangan yang bertugas membenahi anomali tersebut yang umumnya terjadi karena perilaku spekulan yang menguasai jalur-jalur kunci tata niaga produk pertanian," ungkap Agung.
Terlebih untuk tahun ini, lanjut Agung, chemistry Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan semakin solid sehingga dipuji oleh Presiden Joko Widodo sebagai duet 2 menteri terbaik di kabinetnya. Kementerian Pertanian siap memastikan semua komoditas tersebut mencapai target produksi dan menyediakan informasi sebaran produksi komoditi, sementara Kementerian Perdagangan mengeksekusi pembenahan jalur tata niaga yang menjadi otoritasnya.
"Beragam fakta di atas disodorkan penulis untuk membangkitkan kembali Bangsa Indonesia dari rasa minder sebagai bangsa agraris. Bangsa kita harus percaya diri. Dengan berbagai terobosan yang mengandalkan berpikir di luar kotak, penulis yakin Indonesia dalam waktu dekat kembali menjadi bangsa agraris yang disegani negara tetangga dan negara di dunia. Bila bukan generasi kita, siapa lagi? " tutup Agung. (ega/dna)