Alih Fungsi Lahan, Tantangan RI Kejar Swasembada Pangan

Alih Fungsi Lahan, Tantangan RI Kejar Swasembada Pangan

Muhammad Idris - detikFinance
Rabu, 30 Agu 2017 13:24 WIB
Foto: Hakim Ghani
Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) memasang target swasembada 3 bahan pengan pokok padi, jagung, dan kedelai (Pajale). Upaya ini harus menghadapi tantangan berupa alih fungsi lahan pertanian.

Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Dadih Permana, mengungkapkan saat ini lahan pertanian yang masih eksis yang seluas 8,1 juta hektar, terbanyak berada di Pulau Jawa. Namun dikhawatirkan lahan tersebut bakal menipis dengan lantangan alih fungsi lahan pertanian.

"Lagunya Koes Plus tongkat batu jadi tanaman. Tapi lebih banyak beton yang ditanam dibanding tongkat. Laju konversi lahan semakin mengkhawatirkan, rata-rata di survei di 2012 saja 100.000 hektar," kata Dadih dalam diskusi Kinerja Kedaulatan Pangan di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (30/8/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Dadih, jika melihat kondisi saat ini, angka konversi lahan pertanian menjadi area lain seperti properti atau kawasan industri, bisa lebih besar dibandingkan dengan rata-rata alih fungsi lahan sesuai survei di 2012 yakni 100.000 hektar per tahun.

"Kalau lihat kenyataan di lapangan, bisa lebih besar lagi," ungkap Dadih.

Dengan melihat kondisi yang mengkhawatirkan tersebut, kementeriannya saat ini fokus membuka pertanian pada lahan-lahan sub optimal yang sebagian besar di luar Jawa yang meliputi lahan lebak, rawa, tegalan, pasang surut, dan lahan kering.

"Masa depan kita ada di lahan sub optimal yang luasanya ada 3,2 juta hektar di Indonesia, baik basah, rawa, pasang surut, lahan kering, dan lahan tegalan. Ini yang jadi fokus kita," ungkap Dadih.

Sementara itu, Kepala Balai Penelitian Tanah Balitbang Kementan, Husaini, mengungkapkan selain lahan pertanian yang menyempit, kesuburan tanah di Indonesia juga semakin menurun.

"Lahan sawah di Jawa itu sebanyak 73% kandungan organiknya sudah rendah atau di bawah 2%. Ini sudah tidak optimum untuk produksi pangan," jelas Husaini. (idr/hns)

Hide Ads