Lantas, apa tantangan mengejar swasembada kedelai?
"Kedelai bukan di aspek budi daya kesulitannya, tapi di aspek pasar. Dalam hal ini harga kedelai saat panen yang sangat tidak memberikan insentif pada petani. Perlu penanganan lebih khusus. Harga kedelai saat panen selalu di bawah Rp 6.000/kg, padahal biayanya tinggi," ujar Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Dadih Permana, dalam diskusi 'Kinerja Kedaulatan Pangan' di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (30/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan, membatasi impor kedelai yang setiap tahun di atas 2 juta ton juga bukan pilihan, lantaran kebutuhan kedelai khususnya untuki industri tahu dan tempe cukup besar.
"Padahal kebutuhan untuk tahu tempe itu sangat tinggi. Kalau impor mau disetop, pasti hiruk-pikuk," kata Dadih.
Menurutnya, produktivitas kedelai di Indonesia yang relatif rendah dibandingkan negara lain juga bisa dioptimalisasi dari masa tanam yang lebih banyak.
Baca juga: Mentan Kejar Swasembada Jagung hingga Gula |
"Kedelai bukan tanaman endemik juga, di negara sub tropis bisa produksi 5-6 ton, tapi usia tanaman harus 6 bulan. Kita di balai bisa kembangkan kedelai yang produktivitasnya 3,2 ton per hektar, tapi tanamnya cuma 3 bulan. Dari sisi waktu jadi beda-beda tipis," kata Dadih.
Meski ada tantangan, Kemendag tetap optimistis swasembada kedelai bisa dilakukan di 2020.
"Paling berat kedelai, cita-cita enggak ada yang mustahil. Kedelai kita bisa (swasembada) di 2020, bersama kementerian lain bisa back up atau Kementan sendiri bisa kawal. Hanya saja nanti kita khawatir ganti pimpinan, ganti kebijakan," pungkas Dadih. (idr/hns)