Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi hal tersebut. Sri Mulyani pun telah menugaskan Ditjen Pajak untuk menghubungi langsung Tere Liye untuk mendengarkan permasalahan lebih jelas.
"Tim Pajak sudah menghubungi saudara Tere Liye, dan saya sudah meminta untuk Tim Pajak untuk menanyakan persoalannya apa, apa yang menjadi komplain dari saudara Tere Liye. Sudah dihubungkan, nanti bisa dijelaskan apa yang menjadi sumber persoalannya, bagaimana tim kami menjelaskan dan menanganinya," ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (7/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi, jika diperlukan revisi maka pihaknya tak segan untuk melakukan hal tersebut.
"Kita akan carikan kalau memang itu adalah concern dan tentu tidak hanya untuk Tere Liye, pada keseluruhan. Kalau memang dianggap bahwa policy mengenai masalah insentif para penulis ada ruangan untuk diperbaiki ya kita perbaiki," ujar Sri Mulyani.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menjelaskan penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang besarnya adalah 50% dari royalti yang diterima dari penerbit.
Landasan hukumnya adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni).
"Normanya untuk penulis itu 50%, maka penghasilan nettonya itu (misal) Rp 1 miliar kali 50% dulu, sehingga hanya Rp 500 juta, baru dikalikan tarif," kata Hestu.
Hestu menambahkan terdapat perbedaan persepsi di beberapa kantor pajak. Namun, Ditjen Pajak sudah melakukan sosialisasi internal kepada seluruh kantor pelayanan pajak.
"PP pasal 23-nya tetap dipotong 15%, tapi untuk menghitung SPT nya itu boleh menggunakan norma tadi. 50% tadi sama seperti dokter, sama seperti yang lain-lain," tutup Hestu. (dna/dna)