Seperti PT Jaya Trishindo Tbk (HELI), perusahaan ini menyewakan helikopternya baik untuk penyewa institusi maupun perorangan. Untuk institusi kebanyakan perusahaan pertambangan dan perkebunan yang menyewa dengan kontrak per tahun.
"Karena perekonomian lagi bagus, kebanyakan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan karena harga komoditas lagi naik. Kalau untuk namanya saya musti cek dulu boleh enggak diungkapkan," kata Direktur Utama Jaya Trishindo Edwin Widjaja di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (27/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edwin mengungkapkan kebanyakan penumpang perorangannya mempunyai keperluan terbang dari tengah kota Jakarta ke wilayah sekitar Jakarta seperti Cikarang. Ada pula penumpangnya yang hanya ingin sekedar menjajal naik helikopter, hingga menjemput tamu dari luar negeri.
"Sebenarnya kalau perorangan banyak juga. Jadi banyak orang-orang biasa yang hanya mau coba, perlu kejar waktu dari tengah kota ke Cikarang, Jababeka, banyak juga ke pabrik-pabrik. Ada juga karena kunjungan principal dari luar negeri mereka jemput pakai helikopter," imbuhnya.
Meski begitu, perseroan juga berencana mengembangkan pasar perorangan. Ada beberapa inisiatif yang akan dilakukan untuk menambahkan penumpang pribadi.
Seperti pengembangan pemesanan helikopter secara online melalui aplikasi. Hal itu guna mempermudah penyewa untuk mengetahui ketersediaan unit helikopter.
Pihaknya saat ini tengah berkomunikasi dengan perusahaan lainnya untuk membuat platform online. Seiring dengan itu perusahaan juga tengah mencoba mengembangkan platform sendiri.
Perseroan menargetkan bisa meluncurkan platform online pemesanan helikopter dari waktu 3-4 bulan ke depan.
Selain itu Jaya Trishindo juga berencana akan mengembangkan Helitaxi yang beroperasi khusus di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Namun sayangnya ketersediaan helipad di Jakarta yang menjadi infrastrukturnya masih kurang.
Padahal Edwin percaya, bisnis Helitaxi akan berkembang di Jakarta. Mengingat ibu kota ini juga menjadi pusat perekonomian.
Untuk penyewaan pribadi, perusahaan mematok tarif US$ 3.600 atau setara Rp 48,6 juta (kurs Rp 13.500) per jam. Namun penggunaannya kurang dari 1 jam maka dihitung masa waktu pemakaiannya. (zlf/zlf)