Menguak Gurita Bisnis Samadikun hingga Korupsi BLBI Rp 169 M

Menguak Gurita Bisnis Samadikun hingga Korupsi BLBI Rp 169 M

Danang Sugianto - detikFinance
Jumat, 18 Mei 2018 07:01 WIB
Menguak Gurita Bisnis Samadikun hingga Korupsi BLBI Rp 169 M
Jakarta - Terpidana kasus BLBI Samadikun Hartono akhirnya telah melunasi pengembalian uang yang dikorupsinya dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan total Rp 169 miliar.

Sebelumnya pria yang sempat buron hingga 13 tahun ini sudah membayar Rp 82 miliar dengan cara dicicil. Kemarin Samadikun membayar sisanya Rp 87 miliar dan langsung masuk ke kas negara.

Penangkapan buronan koruptor kelas kakap ini cukup merepotkan. Aparat butuh waktu hingga 13 tahun sebelum akhirnya Samadikun tertangkap setelah menonton F1 di China pada 17 April 2016.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika dipikir, kabur selama 13 tahun dan harus mengembalikan uang sebesar itu, tentu dompet Samadikun cukup dalam. Lalu dari mana uang tersebut?
Dikutip dari berbagai sumber, Samadikun sendiri sejatinya merupakan pengusaha yang merupakan salah satu founder atau pendiri Modern Group. Kerajaan bisnis tersebut pernah berjaya dan memiliki banyak perusahaan di berbagai sektor, mulai dari distributor Fujifilm, keuangan, properti hingga ritel kenamaan 7-Eleven yang telah gulung tikar.

Modern Group sendiri terbentuk berasal dari pendirian perusahaan yang bernama PT Modern Photo Film Company pada 12 Mei 1971. Perusahaan yang menjadi distributor utama seluruh produk Fujifilm di Indonesia itu didirikan oleh Otje Honoris yang merupakan ayah dari Samadikun.

Samadikun dengan 3 saudaranya Luntungan Honoris, Sungkono Honoris dan Siewie Honoris mulai meneruskan bisnis keluarganya pada 1982 setelah ayahnya meninggal dunia. Saat itu juga didirikan perusahaan bernama PT Inti Putra Modern sebagai induk usaha dan Samadikun yang menjadi pimpinannya.

Grup perusahaan pun berkembang, hingga akhirnya terhantam gelombang krisis ekonomi di 1997-98. Banyak perusahaannya terlilit utang, termasuk PT Bank Modern.

Sama seperti bank swasta kebanyakan, Bank Modern terbelit masalah ketatnya likuiditas. Saat itu terjadi rush money atau penarikan uang besar-besaran oleh nasabahnya.

Lantaran likuiditas yang ketat, Bank Indonesia (BI) memberikan bantuan likuiditas dalam bentuk SBPUK, Fasdis dan Dana Talangan Valas sebesar Rp 2.557.694.000.000. Samadikun yang kala itu menjabat sebagai Presiden Komisaris menyelewengkan dana itu sebesar Rp 80.742.270.528,81 dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 169.472.986.461,52. Setelah diputuskan bersalah, Samadikun melarikan diri.

Sepeninggalan Samadikun, bisnis Modern Group pun semakin menurun. Bisnis distibutor Fujifilm tergerus perkembangan teknologi.

Sejak 18 Agustus 2015 perusahaan menjual dan mengalihkan hak dagang kepada perusahaan afiliasi Fuji Film Corporation yakni PT FujiFilm Indonesia (FFID).

Sejak saat itu, perseroan sepertinya lebih fokus mengembangkan bisnis Sevel, di mana perusahaan menandatangani Master Franchise Agreement dengan 7-Eleven, Inc sejak 3 Oktober 2008. Ada beberapa gerai Fuji Film yang berubah menjadi Sevel. Namun kini Modern Sevel juga telah menghentikan operasi seluruh gerai Sevel sejak 30 Juni 2017.

Jumlah uang sebesar Rp 169 miliar yang dikorupsi Samadikun pastilah sangat besar nilainya bila dilihat dari sudut pandang tahun 1998 silam, mengingat adanya nilai inflasi yang berubah dari tahun ke tahun.

Lantas, berapa sih nilai Rp 169 miliar tahun 1998 bila disamakan dengan 2018 ini dengan perhitungan inflasi yang terjadi?

Ekonom Indef Bhima Yudhistira sejatinya jumlah Rp 169 pada tahun 1998 dibandingkan tahun 2018 ini sudah berbeda dari sisi nilai. Bhima mengatakan apabila dana yang diambil di tahun 1998, kemudian dikembalikan pada tahun 2018 dengan nilai yang sama, maka tak sesuai dengan konsep ekonomi.

"Betul, Nggak sesuai dengan konsep value of money kalau dalam ekonomi. Harusnya Rp 169 miliar tahun 1998 dikonversi ke nilai rupiah hari ini," kata Bhima kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (17/5/2018).

Bima menjelaskan, apabila dihitung secara kasar, dengan mengambil rata-rata bunga selama 20 tahun sejak 1998 hingga 2018 sebesar 5% tiap tahunnya, maka nilai Rp 169 miliar di tahun 1998 sama dengan Rp 448 miliar di 2018 ini.

Perhitungan tersebut didapat dari formula baku dengan rumus: FV = PV x (1 + i) n, di mana FV = Future Value (nilai di masa depan) PV = Present Value (nilai di masa kini) i = bunga per tahun (dalam %) n = jangka waktu (dalam tahun) dari sekarang sampai masa depan yang dibicarakan.

"Biasanya kita hitung pakai coumponded interest rate. Itu (Rp 448 miliar) sudah dikali 20 tahun," kata Bhima.

Berdasarkan putusan kasasi 1696 K/Pid/2002, Samadikun adalah Presiden Komisaris Bank Modern. Saat krismon 1997, pemerintah memberikan dana talangan ke Bank Modern agar bank itu sehat lagi. Harapannya, bank sehat maka ekonomi pulih.

Namun alih-alih untuk merestrukturisasi banknya, Samadikun malah melarikan uang Rp 198 miliar itu ke pos-pos yang tidak sesuai dengan tujuan dana talangan BLBI. Karena itu, Samadikun dinyatakan bersalah dan berbuat korupsi.

Berikut ini aliran dana Rp 169 miliar yang dikorupsi Samadikun:

- Pembelian promessory note PT Total Central Finance sebesar Rp 5 miliar pada 7 November 1997.

- Pembelian surat berharga PLN sebesar Rp 11,9 miliar pada 24 November 1997.

- Mengucurkan kredit ke PT Jakarta Steel Perdana Indonesia untuk membeli tanah di kawasan Industri Modern Cikande, Jawa Barat. Tanah itu digunakan untuk PT Puncak Ardi Mulia, perusahaan terkait Bank Modern. Uang yang dikucurkan Rp 9 miliar pada 27 Oktober 1997.

- Mengucurkan kredit kepada 104 nasabah anggota Klub Awani pada Multi Wisata Raya sebesar Rp 2,2 miliar. Multi Wisata Raya merupakan anak cabang PT Awani Modern Indonesia, di mana Samadikun adalan Presdir-nya.

- Memberikan ekspansi kredit kepada PT Modern Putratama sebesar Rp 1,1 miliar pada 17 Oktober 1997.

- Mencairkan dana untuk kepentingan pribadi atau tidak sesuai petunjuk Bank Indonesia, seperti untuk kantong pribadi Rp 60 juta, saudara-saudara kandungnya ratusan juta rupiah. dan perusahaan-perusahaan keluarganya. Total mencapai Rp 80 miliar.

- Melakukan pembayaran L/C atas transaksi Group Bank Hokaindo sebesar Rp 58 miliar pada 5 Februari 1998.

Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Tony Spontana mengatakan penyerahan uang Rp 87 miliar Samadikun Hartono bukan berasal dari penjualan aset yang disita oleh Kejaksaan. Ia juga menyatakan pelunasan uang tersebut menandakan kasus ini telah tuntas dari segi pembayaran uang pengganti dan denda.

"Pertama ini murni pembayaran Rp 87 miliar sekian bukan dari penjualan aset yang disita, clear. Kemudian kedua sebetulnya ini bukan dibayar cash ya. Jadi oleh yang bersangkutan telah ditransfer ke rekening bank mandiri dan ini kami memastikan sebagai simbol untuk simbolis saja uang ini sudah pasti masuk ke rekening bank mandiri dan saya harus pastikan juga akan disetorkan ke kas negara," kata Tony kepada di Gedung Plaza Mandiri, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (17/5/2018).

Tony menegaskan saat ini Samadikun Hartono sudah tidak ada lagi sangkut paut dengan aset yang disita oleh Kejaksaan. Sebab, telah membayar lunas uang sisa korupsinya yang sebesar Rp 169.472.960.461.

"Ini artinya dengan pelunasan dengan kewajiban melunasi uang pengganti berdasarkan putusan pengadilan, ini berarti sudah tidak ada sangkut paut lagi dengan aset-aset yang bersangkutan, sudah selesai kewajiban dia," tegasnya.

Ia menjelaskan tugasnya saat ini hanya selaku eksekutor menyerahkan uang sisa korupsi tersebut ke negara. Tony juga mengatakan kalau terpidana Samadikun saar ini masih berada di Lembaga Permasyarakatan menjalani sisa hukumannya.

Selain itu, Tony juga merincikan awal mula Samadikun melakukan pembayaran denda kepada Kejaksaan yang dilakukan dengan cara menyicil biaya denda tersebut.

"Sejak tahun 2016 terpidana telah membayar pertama sebanyak Rp 41 miliar, kemudian 2017 sebanyak dua kali yaitu Rp 20 miliar dikalikan dua dan pada awal 2018 sebesar Rp 1 miliar, lalu pada hari ini yang bersangkutan telah melunasi membayar kali terakhir kewajiban kepada negara sebesar Rp 87.472.960.461 miliar, secara resmi sudah saya serahkan bayaran ini melalui Bank Mandiri untuk selanjutnya disetorkan ke kas negara," paparnya.

Dengan dibayarnya uang pengganti dan denda ini, Samadikun tinggal menjalani hukuman penjara selama 4 tahun.

Hide Ads