-
Negara kaya minyak Venezuela mengalami krisis ekonomi. Inflasinya tidak terkendali atau hiperinflasi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, negara yang pernah dipimpin mendiang Hugo Chaves mengupayakan sejumlah cara. Di antaranya mengeluarkan uang baru dengan memangkas lima angka 0, serta menerbitkan mata uang digital.
Indonesia sebenarnya juga tak luput dari krisis. Indonesia tercatat beberapa kali mengalami krisis. Salah satu yang parah ialah krisis moneter (krismon) pada 1998.
Kala itu, Indonesia juga mengalami inflasi tinggi. Nilai tukar rupiah juga anjlok.
Lantas, lebih parah mana krisis di Venezuela dan Indonesia? Berikut ulasannya:
Venezuela jatuh dalam krisis bukan tanpa sebab. Negara kaya minyak terpuruk karena nasionalisasi perusahaan asing.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menerangkan, Venezuela merupakan negara yang kaya minyak. Saat harga minyak tinggi, negara ini mendapat untung.
Lalu, Venezuela melakukan nasionalisasi alias mengusir perusahaan-perusahaan asing.
"Venezuela dimulai pemimpin yang namanya Hugo Chaves, dia menemukan blok minyak yang besar sekali. Ketika ia dapat cadangan minyak, dia merasa dapat dikerjakan sendiri. Dia usir asing, ketika dia usir asing, nasionalisasi, barat melawan dia. Dia ingin sangat menjadi negara sosialis," kata dia kepada detikFinance.
Apesnya, harga minyak kemudian anjlok. Padahal, negara ini pendapatannya sangat bergantung pada minyak.
Sejalan dengan itu, negara ini juga tidak bisa memenuhi segala kebutuhan masyarakatnya dari produksi dalam negeri alias mesti impor.
"Jadi akibat salah urus, mereka harus impor kebutuhan, mata uang jatuh, utangnya besar," ungkapnya.
Krisis ekonomi yang terjadi di Venezuela lebih parah dari krisis yang melanda Indonesia pada 1998 silam atau krisis moneter (krismon). Sebab, nilai tukar rupiah cepat pulih setelah krisis.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menerangkan, kondisi tersebut berbeda dengan Venezuela. Mata uangnya justru terus merosot tak kunjung pulih.
"Kalau kita bilang begitu (lebih parah). Tahun 1998 ya ada krisis politik, rupiah Rp 17 ribu waktu itu nggak lama. Pada zaman Habibie sampai Rp 9.000. Kalau Venezuela sudah lama sekali beberapa tahun lalu," ujar dia kepada detikFinance.
Eko melanjutkan, meski Indonesia mengalami krisis namun ekonominya juga tidak betul-betul mandek. Ekonomi Indonesia masih bergerak ditopang oleh pergerakan ekonomi di daerah.
"Krisis 98 kan yang krisis perkotaan, yang jual komoditas mereka pesta komoditi, kalau kita lihat kebutuhan pokok dan lain-lain. Ada impor tapi sebetulnya supply petani masih ada. Saya rasa ada kenaikan harga karena berkurangnya impor atau kurs melemah, tapi secara fundamental nggak selemah Venezuela," ungkapnya.
Sementara, Venezuela ekonominya tak bergerak karena krisis. Eko menjelaskan, ekonomi negara surga minyak ini sebenarnya sempat melonjak karena kenaikan harga minyak. Tapi, kenaikan harga tersebut tidak dimanfaatkan untuk membangun kemandirian ekonomi dalam negeri. Kebutuhan dalam negeri dipenuhi oleh impor.
Saat harga minyak jatuh, perekonomian Venezuela langsung terpukul. "Harga minyak jatuh, jatuh pulalah ekonomi mereka karena tidak bisa memproduksi sendiri. Terutama kebutuhan pokok," ungkapnya.
Kondisi Venezuela juga semakin sulit karena dia mendapat sanksi dari Amerika Serikat (AS).
"Kemandirian ekonomi sangat rendah, tak bisa produksi barang, jumlah produksi terbatas, kena embargo AS. Semakin nggak ada barang, yang terjadi harga barang mahal, pemerintah menutup dengan cetak uang, akhirnya inflasi gila-gilaan," tutupnya.
Ekonom Institute for Devolopment of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, kondisi Venezuela memang sangat parah lantaran inflasinya mencapai ribuan persen. Kemudian hal itu diperburuk dengan kebijakan pemerintahnya yang terus-menerus mencetak uang baru. Hal itu membuat inflasi kian parah.
"Venezuela inflasi ribuan persen, terus mata uangnya cetak uang baru, kelimpungan sudah lama," kata dia kepada detikFinance.
Kemudian, dia mengatakan, kondisi Venezuela tak didukung oleh kemandirian ekonomi. Dia bilang, banyak barang yang tidak bisa diproduksi dalam negeri. Sehingga, permintaan yang tak sebanding dengan ketersediaan barang turut memicu inflasi.
"Venezuela saja tisu toilet nggak bisa produksi," ungkapnya.
Kondisi ini jauh berbeda dengan Indonesia. Menurut Eko, inflasi Indonesia masih terbilang rendah.
"Indonesia nggak separah itu, memang (rupiah) depresiasi, tapi bisa terkendali. Agak jauh membayangkan Indonesia dengan Venezuela," ujarnya.
Namun, Eko mengatakan, bukan berarti Indonesia tak punya pekerjaan rumah. Menurutnya, salah satu pekerjaan yang mesti dilakukan memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan yang saat ini melebar.
Dia bilang, melebarnya defisit transaksi berjalan menunjukkan kebutuhan impor masih besar dan menekan nilai tukar rupiah. Sementara, nilai tukar yang terjaga membantu menjaga inflasi.
"Berupaya sependapat mungkin mencegah defisit melebar lagi, cukup 3%, kalau bisa akhir tahun ditarik 2,7%," tutupnya.