-
Sudah bukan rahasia lagi jika pajak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga negara yang memiliki penghasilan sesua atau di atas batas ketentuan.
Masyarakat yang memiliki penghasilan di atas batas ketentuan pun menjadi wajib pajak (WP) yang siap diperiksa dan selalu patuh akan kewajibannya.
Hanya saja, langkah otoritas pajak nasional dalam melaksanakan pemeriksaan masih ditakuti oleh para WP. Pemeriksaan menjadi proses yang dianggap menakutkan.
Padahal, jika WP tersebut sudah patuh dan taat melaporkan kewajiban pajaknya dengan benar, maka rasa khawatir akan pajak pun seharusnya tidak lagi terjadi.
Pemeriksaan merupakan suatu proses administrasi dalam sistem perpajakan. Simak ulasannya agar WP tak lagi takut diperiksa.
Apakah Anda khawatir akan diperiksa pajak? Merasa cemas ketika diperiksa? Pernahkah mengalami pemeriksaan pajak dan punya pengalaman buruk dengan pemeriksaan? Barangkali sebagian dari kita pernah mengalaminya. Tapi sebagian besar wajib pajak (WP) sebenarnya belum punya pengalaman diperiksa.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Dia menyebut pemeriksaan pajak masih menjadi isu hangat di kalangan WP, khususnya para pengusaha yang menganggap proses administrasi tersebut 'menakutkan'.
Dia menjelaskan kenapa dalam sistem perpajakan nasional harus ada pemeriksaan. Sejak tahun 1984 Indonesia mengubah sistem pemungutan pajak dari official assessment system atau petugas pajak berwenang menetapkan besarnya pajak terutang menjadi self assessment systematauatau wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung atau memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.
Pengubahan tersebut, kata Prastowo, merupakan bagian dari penghormatan hak warga negara yang di dalam negara demokratis kedudukannya setara dengan negara. Konsekuensinya, benar tidaknya pajak yang dibayar kini tergantung pada kejujuran wajib pajak.
"Maka UU Perpajakan mengatur wajib pajak membayar pajak terutang sesuai keadaan yang sebenarnya tanpa bergantung pada penetapan kantor pajak," jelas dia.
Di sisi lain, lanjut Prastowo, belum semua wajib pajak mematuhi ketentuan UU. Maka UU memberi kewenangan kepada kantor pajak untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak.
Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui mana WP yang sudah patuh dan yang belum patuh. Menjadi tidak adil jika ada wajib pajak patuh, di sisi lain wajib pajak yang tidak patuh dibiarkan. Pemeriksaan pajak dilakukan terhadap mereka yang terindikasi tidak patuh, sehingga setelah diperiksa akan menjadi patuh.
Menurut Prastowo, pemeriksaan pun bukan satu-satunya cara dalam menguji kepatuhan. UU mengatur fungsi pembinaan agar wajib pajak memahami hak dan kewajibannya. Maka penyuluhan, sosialisasi, dan edukasi menjadi penting. Hal ini dijalankan terus untuk membangun kesadaran. Akan tetapi cara ini tidak selamanya efektif.
"Nyatanya jumlah wajib pajak masih sedikit, yang melapor SPT juga belum optimal, apalagi yang sukarela membayar. Terhadap mereka inilah pemeriksaan pajak ditujukan," tambah dia.
Oleh karena itu, pemeriksaan pajak adalah konsekuensi logis dari self assessment system, supaya kepatuhan dan kejujuran dapat diuji untuk memenuhi rasa keadilan wajib pajak patuh.
Prastowo menilai tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia akan pajak masih rendah.
"Faktanya, kepatuhan pajak kita masih terbilang rendah," kata Prastowo dalam keterangannya, Jakarta, Minggu (16/9/2018).
Tingkat kepatuhan yang rendah tergambar dari tax coverage ratio (nisbah realisasi terhadap potensi) baru sebesar 72%. Nisbah penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) masih rendah, berkisar 11%-12% atau hanya naik 0,1% saja dalam rentang 2004-2014.
Menurut Prastowo, angka ini masih di bawah Filipina sebesar 14%, Malaysia 16%, Thailand 17%, Korea Selatan 25%, Afrika Selatan 27%, dan Brasil 34%. Jauh di bawah rata-rata negara OECD sebesar 34% atau kebutuhan minimal MDGs sebear 25%.
"Artinya, kue ekonomi yang membesar belum diimbangi tingkat pembayaran pajak yang tinggi," ungkap dia.
Dari jumlah wajib pajak juga belum optimal, baru 36.031.972 wajib pajak pada 2017, dengan rincian 2.922.712 WP Badan, 6.222.442 WP OP Non karyawan, dan 26.886.818 WP OP Karyawan.
Rincian pembayaran pajak per jenis pajak pada 2017 yaitu Rp 480 triliun berupa PPN, Rp 208 triliun berupa PPh Badan, Rp 117 triliun berupa PPh Pasal 21, Rp 106 triliun berupa PPh Final, Rp 50 triliun berupa PPh Migas, Rp 16,7 triliun berupa PBB P3, Rp 7,8 triliun berupa PPh OP Non karyawan.
Jika menyimak data amnesti pajak. Sebanyak 965.983 wajib pajak ikut, dengan Rp 4.865 triliun deklarasi harta, Rp 114 triliun uang tebusan, dan Rp 147 triliun repatriasi dana.
"Data ini tidak pernah diungkap melalui SPT wajib pajak dan baru diungkap ketika ada pengampunan pajak," tutup dia.
Sebelum takut akan pemeriksaan pajak, sebaiknya perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai alasan dan tujuan dari pemeriksaan tersebut.
Prastowo mengatakan bahwa peeriksaan pajak akan dilakukan hanya kepada wajib pajak (WP) yang tidak patuh, jika yang patuh maka tidak akan dilakukan.
"Secara teoretik, setiap wajib pajak berpeluang diperiksa. Tapi UU jelas mengatur pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan," kata Prastowo dalam keterangannya, Jakarta, Minggu (16/9/2018).
"Logikanya, jika sudah patuh maka tidak akan diperiksa. Dan sebaliknya, jika belum patuh dan diperiksa, maka ia akan menjadi patuh," tambah dia.
Prastowo mengatakan tingkat kepatuhan ini harus dipertahankan di masa mendatang. Untuk apa? untuk tidak terjadi pemeriksaan ke depannya. Artinya wajib pajak sudah patuh dan bisa melaporkan kewajiban setiap waktunya.
Berdasarkan data per 2017, Prastowo menyebut otoritas pajak nasional memiliki jumlah wajib pajak terdaftar 36 juta, di mana 26,8 juta karyawan, sekitar 6,2 juta non karyawan, 3 juta badan. Lalu berapa banyak yang diperiksa?
Tahun 2017, realisasi tingkat keterperiksaan wajib pajak atau Audit Coverage Ratio (ACR) sebesar 0,45% atau sekitar 8.757 wajib pajak orang pribadi diperiksa, dan 2,88% atau 34.148 wajib pajak badan diperiksa. Hasi Ini masih di bawah ACR ideal menurut IMF yakni 3-5%.
Tahun 2017 204.584 SKP terbit, 193.384 SKP tidak diajukan keberatan, 11.200 SKP diajukan keberatan, hasilnya 4.938 diterima dan 6.262 ditolak atau dikabulkan sebagian.
Oleh karena itu, Prastowo meyakinkan bawa pemeriksaan tidak akan dilakukan secara terus menerus pada satu WP. Jika memang terjadi maka itu karena rutin mengajukan restitusi yang memang harus diperiksa.
Ada kabar baik bagi seluruh wajib pajak (WP) di tanah air, terutama bagi yang ingin terbebas dari sasaran pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak nasional.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan salah satu cara yang ampuh agar terhindar dari pemeriksaan pajak adalah dengan menjadi patuh.
"Caranya, jadilah Wajib Pajak Patuh! yakni menjauhi hal-hal buruk yang menjadi indikasi ketidakpatuhan," kata Prastowo dalam keterangannya, Jakarta, Minggu (16/9/2018).
Prastowo mengungkapkan, ada beberapa indikasi yang menggambarkan tingkat kepatuhan wajib pajak. Pertama, indikasi ketidakpatuhan tinggi atau adanya tax gap, seperti profil SPT yang jauh berbeda dengan profil ekonomi WP yang sebenarnya tercermin dari analisis wajar CTTOR, GPM, dan NPM yang dibandingkan dengan industri sejenis.
Bertransaksi afiliasi dan lawan transaksi berkedudukan di yurisdiksi dengan tarif efektif lebih rendah, belum pernah diperiksa 3 tahun terakhir, tidak patuh membayar pajak dan menyampaikan SPT, bertransaksi dengan WP tidak punya NPWP, profil bisnis WP di SPT tidak sesuai, muncul IDLP, dan lainnya.
Kedua, indikasi modus ketidakpatuhan WP, seperti WP tidak melaporkan omset dengan sebenar-benarnya, membebankan biaya yang tidak seharusnya, melakukan modus ketidakpatuhan PPN dengan melaporkan penjualan lokal sebagai ekspor, pemalsuan FP untuk kepentingan pengkreditan PM, dan lainnya, melakukan agressive tax planning, memiliki CFC, indikasi TP, treaty abuse.
Ketiga, identifikasi nilai potensi pajak, dihitung oleh KPP dengan mengalikan tarif pajak dengan tax gap atau diisi dengan nilai restitusi yang sudah diberikan, nilai kompensasi kerugian yang akan dibayarkan, selisih nilai revaluasi.
Keempat, identifikasi kemampuan WP untuk Membayar Ketetapan Pajak (collectability) dalam rangka optimalisasi pencairan dari hasil pemeriksaan.
Kelima, identifikasi berdasarkan pertimbangan tertentu oleh Dirjen Pajak. Kelima indikasi ini juga tertuang dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No. SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.
Di luar itu, kata Prastowo ada tips lainnya, yaitu pastikan agar pemenuhan kewajiban perpajakan telah dilakukan dengan benar, pembayaran dan pelaporan tepat pada waktunya, lakukan rekonsiliasi pajak secara berkala, lakukan diagnostic review, komunikasi dengan Account Representative di kantor.