Terkait hal itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita bersama Direktur Pakan, dan Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak turun langsung ke sentra produsen ayam petelur terbesar di Jawa Timur, yakni Kabupaten Blitar untuk berdialog dengan peternak.
"Kami sarankan agar para peternak bersatu dalam wadah koperasi. Hal ini untuk memudahkan kami dalam memfasilitasi peternak untuk mendapatkan DOC secara langsung dari perusahaan pembibit (breeder/integrator), sehingga harganya standar normal," kata I Ketut dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam dialog yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Blitar itu, sekitar 140 peternak melakukan dialog langsung dan mengeluhkan penurunan harga telur di tingkat peternak karena kelebihan pasokan, padahal pada saat yang sama biaya produksi juga tinggi akibat harga DOC dan pakan yang tinggi.
I Ketut pun membantah harga DOC mahal karena kelangkaan. Menurutnya, berdasarkan data yang ada, produksi bibit ayam petelur (DOC FS Layer) dari Januari-Agustus 2018 rata-rata per bulan sebanyak 14.831.383 ekor dan bibit ayam pedaging (DOC FS Broiler) rata-rata per bulan sebanyak 243.250.971 ekor atau per minggu sebanyak 57.916.898 ekor. Pasokan justru sangat berlebih dan bahkan dilakukan eskpor.
"Kita sudah ekspor DOC ke Timor Leste, telur ayam tetas ke Myanmar, daging ayam olahan ke Jepang, Papua Nugini, dan Myanmar. Ekspor ini yang harus kita tambah dan perluas negaranya, sehingga dapat meghasilkan devisa untuk negara," tandasnya.
Menurutnya, ada kemungkinan peternak ordernya sendiri-sendiri dan dengan jumlah yang sedikit, sehingga sulit untuk dilayani langsung dan akhirnya mendapatkan DOC dengan harga tinggi karena sudah dari tangan/pihak ketiga. Apalagi setelah dilakukan pengecekan harga DOC di tingkat pembibit masih standar normal.
Peternakan ayam petelur sudah menjadi urat nadi bagi perekonomian Kabupaten Blitar, karena merupakan daerah terbesar di Indonesia dalam menghasilkan telur ayam ras. Nasib peternak ayam petelur tentunya harus diperjuangkan.
"Kita akan ambil sikap bersama agar peternak tidak rugi. Apa yang menjadi keluhan peternak soal kesulitan mendapatkan DOC kita carikan jalan keluar, agar biaya produksi itu turun, dan peternak bisa bersaing," katanya.
Sementara itu, terkait dengan upaya memenuhi kebutuhan jagung untuk pakan ternak, I Ketut meminta kepada Pemerintah Kabupaten Blitar dapat memanfaatkan lahan-lahan pemerintah yang masih belum produktif untuk ditanami jagung.
"Penanaman jagung ini bisa juga dilakukan oleh BUMD, sehingga dapat menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang pada akhirnya juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Blitar," ucapnya.
Menyikapi tentang adanya kelebihan pasokan saat ini, I Ketut berpendapat bahwa hal ini semestinya ditanggapi dengan positif, karena menurutnya lebih baik kelebihan pasokan daripada kekurangan. Solusi paling nyata adalah dengan terus mendorong pelaku usaha untuk terus meningkatkan ekspor, agar juga mendorong kerja sama pemasaran antara produsen telur ayam seperti Blitar dengan daerah lain, seperti yang sudah dilakukan dengan Pemerintah DKI Jakarta. (ega/dna)