-
Beras yang menjadi salah satu komoditas pangan utama setiap tahunnya terus menimbulkan polemik, apalagi ketika keran impor dibuka. Salah satu penyebabnya adalah ketidakakuratan data produksi beras, banyak yang curiga ketika impor dibuka.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah memerintahkan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk membuat satu metode pendataan yang baru terhadap produksi beras. Akhirnya lahirlah metodologi Kerangka Sampe Area (KSA).
Metode KSA sendiri menggunakan teknologi citra satelit. BPS yakin metode baru ini jauh lebih akurat baik dari sisi penghitungan luas lahan bahan baku sawah, luas panen hingga produksi gabah kering giling dan produksi beras.
Metode ini juga bisa menghitung potensi produksi beras 3 bulan ke depan. Penghitungan potensi ini diyakini jauh lebih akurat ketimbang data ramalan yang dulu dirilis BPS bernama Angka Ramalan (ARAM).
Kepala BPS Suharyanto mengatakan, pihaknya bersama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) telah merumuskan metodologi baru pendatan produksi beras sejak 2015.
"Kenapa metodologi perhitungan beras perlu diperbaiki, karena sejak 1997 banyak pihak menduga bahwa perhitungan data produksi kurang tepat. Itu kesalahan banyak pihak termasuk BPS tentunya," tuturnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sendiri meminta agar metode perhitungan yang baru harus memenuhi 3 aspek, yakni objektif, menggunakan teknologi terkini dan harus transparan. Artinya semua pihak bisa melihat metodologinya. Akhirnya terpilih metodologi Kerangka Sampel Area (KSA).
KSA sendiri merupakan metode perhitungan luas panen khusunya tanaman padi dengan memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR.
Untuk menghitung produksi maka memerlukan data luas panen dan prpduktivitas. Untuk luas panen sendiri tergantung dari data luas bahan baku sawah.
Untuk menghitung luas bahan baku sawah tim BPS harus datang langsung ke titik koodinat yang ditentukan melalui citra satelit. Setelah ada di titik koordinat kemudian tim BPS emngambil foto.
Hasilnya BPS mendapatkan data bahwa luas lahan baku sawah saat ini sebesar 7.105.145 hektar. Angka itu turun dibanding data luas lahan baku sawah sebelumnya di 2013 seluas 7.750.999 hektar.
Kemudian berdasarkan survei KSA luas panen padi di Indonesia periode Januari - September 2018 sebesar 9,54 juta hektar. Luas panen tertinggu terjadi pada Maret 2018 sebesar 1,72 juta hektar, sementara terendah pada Januari 2018 yakni 0,53 juta hektar.
BPS yakin perhitungan data yang memanfaatkan teknologi citra satelit ini lebih akurat dari sebelumnya.
Dengan metodologi ini BPS juga bisa menghitung potensi produksi beras 3 bulan ke depan, sebab data luas panen padi akan terus di-update setiap bulannya.
Kepala BPS Suhariyanto yakin metodologi perhitungan ini jauh lebih akurat dibanding metode perhitungan sebelumnya. Dia juga yakin perhitungan potensi 3 bulan ke depan juga lebih akurat ketimbang data Angka Ramalan (ARAM) yang dulu terus digunakan oleh BPS.
(ARAM) itu kan angka ramalan, dulu 3 kali setahun. Itu memang hanya ramalan yang menggunakan data statistik berdasarkan luas panen. Kalau ini melihat potensi, beda dong dengan ramalan, karena kita menggunakan foto satelit. Ini akan jadi acuan, jadi tidak akan keluar lagi ARAM," tuturnya.
Dengan menggunakan metodologi yang baru yakni Kerangka Sampel Area (KSA), Badan Pusat Statistik (BPS) melihat potensi produksi gabah kering giling di Oktober 2018 sebanyak 2,66 juta ton, November 2018 2,10 juta ton dan Desember 2018 2,13 juta ton.
Dari angka itu, tercatat potensi produksi beras di Oktober 2018 sebsar 1,52 juta ton, November 2018 1,20 juta ton dan Desember 2018 sebanyak 1,22 juta ton.
Angka potensi produksi beras di kuartal IV-2018 itu masih lebih rendah jika dibandingkan dengan proyeksi konsumsi beras yang berada dikisaran 2,43-2,51 juta ton. Hal itu lantaran di kuartal VI-2018 sudah memasuki masa tanam.
Jika dilihat dari bulan ke bulan, angka potensi produksi beras di 3 bulan terakhir memang menurun drastis dari yang biasanya selalu di atas angka konsumsi beras. Data BPS menunjukan produksi beras melebihi tingkat konsumsi sejak Februari 2018 yakni sebesar 3,21 juta ton. Kemudian pada Maret menunjukan posisi tertinggi yakni 5,42 juta ton.
"Memang Oktober sampai Desember biasanya produksi beras menurun," kata Kepala BPS Suharyanto.
Surplus beras sebanyak 2,8 juta ton diprediksi bakal terjadi tahun ini. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan data surplus beras itu merupakan hasil perhitungan secara kumulatif, sebab data konsumsi beras memang stabil setiap bulannya sekitar 2,27 juta ton hingga 2,51 juta ton, di sisi lain produksi beras setiap bulan fluktuatif.
"Surplus itu dengan catatan secara kumulatif. Kalau dilihat bulan-bulan tertentu ada yang defisit, seperti pada Oktober sampai Desember itu kita musim tanam, jadi produksi turun. Jadi harus diperhatikan bagaimana kita mengelola stok ini agar harganya stabil," tuturnya.
Menurut data BPS produksi beras di atas kebutuhan konsumsi sejak Februari 2018, yaitu sebesar 3,21 juta ton, kemudian pada Maret menunjukkan posisi tertinggi yakni 5,42 juta ton.
Sementara pada Oktober 2018 diperkirakan produksi akan anjlok ke 1,52 juta ton, November 1,2 juta ton dan Desember 2018 sebesar 1,22 juta ton.
Selain itu, angka surplus beras itu juga tidak sepenuhnya terpusat. Surplus beras tersebar ke berbagai titik yakni ke rumah tangga produsen, rumah tangga konsumen, pedagang, penggilingan, hotel, Bulog dan sebagainya.
"Jadi surplus menyebar, yang bisa dikelola pemerintah hanya di Bulog. Kalau mengacu survei cadangan beras 44% berada di rumah tangga produsen itu jumlahnya 14,1 juta, kalau 44%-nya sekitar 1,35 juta. Kalau dibagi rumah tangga produsen setiap rumah tangga surplus 7,5 kg," terangnya.
Sehingga, kata Suhariyanto, angka surplus beras tetap harus ditangani dengan hati-hati. Perlu pengelolaan stok yang baik, agar dapat menutupi ketika stok beras mengalami defisit.