Pria yang akrab disapa Ari itu menjelaskan, dari sisi biaya dalam bisnis maskapai ada beberapa variabelnya. Di antaranya tergantung dari volatilitas pasarnya, seperti kurs mata uang dan bahan bakar minyak (BBM)
"Khususnya masyarakat juga tahu pembayaran kita komponen cost variabelnya. Semua komponen costnya dalam dolar AS. Sedangkan kursnya berfluktuasi," tuturnya.
Dari sisi bahan bakar avtur sendiri mengalami kenaikan yang cukup signifikan, begitu juga dengan nilai tukar rupiah yang terus menurun.
Ari menjelaskan, BBM sendiri menjadi komponen paling besar untuk biaya operasional maskapai yakni sekitar 40-45%. Kemudian ada komponen pembayaran untuk leasing pesawat sebesar 20%.
"Perusahaan leasing ini lebih didominasi oleh Eropa dan AS. Baru-baru ini saja ada dari China dan Jepang. Mereka suplay dengan sukubung lebih rendah namun aksesabilitasnya masih rendah," terangnya.
Kemudian 10% untuk maintenance pesawat. Sayangnya, kata Ari, kebanyakan pesawat di Indonesia merupakan produksi Airbus dan Boeing. Sehingga dari sisi jasa perawatan pesawat terjadi oligopoli dari kedua perusahaan itu. Kemudiam ada 10% gaji pegawai dan komponem lainnya.
Nah, dari seluruh komponen biaya operasi itu, margin keuntungan maskapai hanya 1% hingga 3%. Jika maskapai menjual di posisi tarif batas atas margin keuntungannya pun hanya 3%.
"Margin 3% itu paling bagus dengan harga yang selangit. Sementara kemarin saat Nataru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas, sedangkan LCC hanya 60-70% dari batas atas," tegasnya.
Dengan kondisi seperti itu, lanjut Ari, para maskapai terpaksa untuk banyak melakukan inovasi agar tidak rugi. Banyak yang cari untung dari bisnis cargo hingga ruang iklan di dalam pesawat.
"Jadi kita dari harga tiket saja sudah kelelep. Kami bisa terima pemerintah memang tidak bisa menaikkan tarif batas atas karena melihat daya beli masyarakat, makanya kami tidak pernah demo," tutupnya.