Pengusaha Minta DPR Tak Buru-buru Ketok Revisi UU Persaingan Usaha

Pengusaha Minta DPR Tak Buru-buru Ketok Revisi UU Persaingan Usaha

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Rabu, 16 Jan 2019 22:35 WIB
Foto: Muhammad Idris/detikFinance
Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta DPR tidak buru-buru memutuskan amandemen Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam keterangan tertulis yang diterima detikFinance, Rabu (16/1/2019), rancangan UU tersebut diperlukan untuk menumbuhkan daya saing ekonomi nasional, tapi apabila tidak tepat justru akan kontra produktif bagi iklim usaha di Indonesia.

Pada keterangan tersebut dijelaskan, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Di antaranya, mengenai banyaknya definisi yang masih kabur dan menimbulkan multitafsir. Contohnya, definisi persaingan usaha tidak sehat, praktik monopoli, pemusatan kekuatan ekonomi, dan pasar bersangkutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Padahal mayoritas pasal-pasal dalam RUU-PU adalah untuk membuktikan terjadinya persaingan tidak sehat, terjadinya praktek monopoli, pemusatan kekuatan ekonomi, dan pasar bersangkutan," bunyi keterangan tersebut.

Selanjutnya, mengenai penggabungan atau peleburan masih belum jelas. Contohnya, apakah itu wajib memberitahukan atau wajib mendapatkan persetujuan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebelum melakukan penggabungan.

"Sanksi hingga sebesar 25% dari nilai transaksi hanya karena lalai memberitahukan kepada KPPU dirasakan terlalu besar, termasuk sanksi publikasi dalam daftar hitam pelaku usaha. Pembelian aset oleh satu perusahaan kepada perusahaan lain seharusnya tidak bisa dikategorikan sebagai merger atau akuisisi yang harus dilaporkan kepada KPPU," paparnya.


Lalu, pasal tentang kemitraan akan bersifat kontra produktif bagi upaya mengembangkan kemitraan. Ancaman hukuman yang berat termasuk denda 25% dari nilai transaksi menyebabkan usaha besar enggan untuk bermitra dengan usaha kecil.

"Dalam hal ini yang dirugikan adalah usaha kecil/menengah karena akan sulit mencari mitra usaha besar. Pasal yang seharusnya di rumuskan justru harus bisa merangsang/memotivasi terjadinya kemitraan antara usaha besar dengan UKM," bunyi keterangan tersebut.

Pengaturan denda

Sementara, KPPU sebagai lembaga pengawas masih memiliki kewenangan yang menyatu (integrated), di mana KPPU dapat bertindak sebagai pelapor, pemeriksa/penuntut, dan sebagai pemutus (hakim), dan bahkan pada saat keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung KPPU berposisi sebagai pihak.

"Kadin dan Apindo berpendapat bahwa kewenangan tersebut seharusnya di pisahkan antara sebagai penuntut dan sebagai hak," sambungnya.

Pada keterangan ini juga memuat tentang keberatan. Pertama, denda sebesar maksimum 25% dari nilai penjualan harus diganti dengan denda berdasarkan illegal profit atau maksimum dua atau tiga kali dari ilegal profit.


Kedua, sanksi rekomendasi pencabutan izin diusulkan untuk dihapus karena tidak sesuai dengan tujuan hukum persaingan usaha.

Ketiga, keberatan boleh diajukan jika pelaku usaha membayar 10% dari nilai denda. Hal ini berat bagi terlapor, karena bisa menyebabkan kegiatan usaha terhenti.

"Pengadilan Negeri diberi waktu 45 hari untuk memeriksa keberatan. Kadin dan Apindo berpendapat waktunya harus lebih panjang sesuai dengan standar pemeriksaan di pengadilan (maksimal enam bulan) dan dimungkinkan memeriksa terlapor dan dapat mengajukan bukti-bukti (dokumen, saksi, dan ahli) untuk menguji putusan KPPU secara menyeluruh," bunyi poin keempat tentang keberatan tersebut. (hns/hns)

Hide Ads