Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN sekaligus anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dradjad Wibowo menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata periode 2015-2018 hanya sekitar 5%.
Dia menjelaskan padahal Presiden Jokowi menjanjikan pertumbuhan 7% per tahun dan ini terlalu muluk. Sehingga wajar jika janji tersebut ditagih, baik oleh pesaing politik maupun oleh pelaku usaha.
"Saya tidak tahu siapa yang memberi masukkan, jelas terlalu muluk (pertumbuhan ekonomi). Target 6% sebenarnya lebih realistis, jika bauran kebijakannya benar," kata Dradjad saat dihubungi detikFinance, Rabu (6/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia AS keluar dari GD melalui pembangunan infrastruktur besar-besaran khususnya moda kereta api. Dia menjelaskan belanja infrastruktur menjadi sebuah stimulus, efek multiplier PDB dan penyediaan lapangan kerjanya besar.
"Di Indonesia selama periode pak Jokowi, belanja infrastruktur malah gagal jadi stimulus Keynesian. Efek multiplier PDB dan lapangan kerja relatif kurang terasa. Berarti ada yang salah dengan belanja infrastruktur pemerintah," ujar Drajad.
Dia menambahkan, pemerintahan Presiden Jokowi disebut sering menyalahkan faktor eksternal ketika ekonomi tidak sesuai dari harapan dan target. Namun ketika faktor eksternalnya menolong perekonomian, dia diabaikan dan kinerja ekonomi diklaim sebagai prestasi sendiri.
"Yang jelas, pertumbuhan stagnan ini banyak disumbangkan oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang juga stagnan. Itu hemat saya penyebab utama lambatnya pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain belanja atau pengeluaran pemerintah melalui proyek infrastruktur gagal menjadi stimulus Keynesian," jelas dia.