Tiket Pesawat Mahal dan Bagasi Bayar Bak Jatuh Tertimpa Tangga

Tiket Pesawat Mahal dan Bagasi Bayar Bak Jatuh Tertimpa Tangga

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Selasa, 26 Feb 2019 16:40 WIB
Ilustrasi/Foto: Hasan Al Habshy
Jakarta - Polemik mengenai harga tiket pesawat yang mahal telah dibahas hingga ke tingkat Presiden dan Menteri. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan telah menginstruksikan para jajarannya mencari cara agar harga tiket pesawat turun.

Pertamina sampai-sampai kena imbasnya, lantaran mahalnya harga tiket pesawat ditengarai berasal dari monopoli avtur yang dilakukannya di dalam negeri. Kontribusi avtur terhadap tarif penerbangan berkisar 20-30% (tergantung kurs).

Mahalnya tiket pesawat sampai hari ini masih dikeluhkan masyarakat. Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) menyampaikan maskapai saat ini masih belum kembali memberlakukan sub class atau pembagian batas atas dan bawah untuk harga tiket pesawat yang ditawarkan. Akibatnya, masyarakat cuma punya pilihan satu harga yang telah dipatok sesuai batas atas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami harapkan airline itu mulai kembali menerapkan batas atas batas bawah. Jadi terjangkau untuk semua kelompok masyarakat. Jadi mau beli murah silakan, beli mahal silakan. Jadi kalau jauh-jauh hari mereka bisa beli lebih murah, karena ada sub classes itu," kata Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Budijanto Ardiansyah kepada detikFinance, Selasa (26/2/2019).


Maskapai sendiri belum bisa berkomentar banyak mengenai mahalnya harga tiket pesawat saat ini. Corporate Communication Strategic of Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro hanya bisa berdalih bahwa harga yang tertera saat ini masih sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk penerbangan pesawat udara.

"Harga tiket yang di-publish masih sesuai aturan. Masih di bawah tarif batas atas," katanya.

Kondisi maskapai nasional sendiri saat ini dibebani biaya operasional yang meningkat. Sebab musababnya adalah kurs dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat mengoyak rupiah, di mana biaya operasional maskapai banyak dipengaruhi oleh mata uang Paman Sam tersebut. Sementara pemasukan maskapai sendiri diterima dalam bentuk rupiah yang nilainya tengah anjlok.

Menurut Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno, mahalnya harga tiket pesawat saat ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Beban masyarakat yang telah terbiasa menggunakan pesawat dalam bertransportasi bertambah lantaran sebelumnya maskapai seperti Lion Air juga telah menaikkan beban menggunakan pesawat dengan penerapan bagasi berbayar.

"Ketika tiket naik, bagasinya disuruh bayar, seolah bayarnya ya dua kali lipat. Terutama bagasi itu yang berpengaruh. Sensitif sekali bagasi itu. Karena orang-orang kelas bawah itu mereka bawa barang kan banyak. Mereka bawa pakaian, di sana jualan lagi. Bagasi itu menjadi pengaruh besar juga," katanya dihubungi terpisah.

Persoalan tarif tentu menjadi isu yang sangat sensitif bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pengenaan bagasi berbayar dan tarif pesawat yang mahal ibarat buah simalakama buat maskapai di tengah kondisi rupiah yang sedang tertekan dolar AS.


Djoko berharap pemerintah bisa segera bergerak cepat menuntaskan permasalahan ini agar dunia usaha tak semata-mata menjadi sumpah serapah dari melambungnya harga tiket. Sepinya sejumlah bandara di Indonesia terkait mahalnya harga tiket pun mesti segera ditelusuri, tak bisa melulu menafikan musim sepi atau low season.

"Tapi tentunya tiket itu ada sensitifitasnya. Tarif melonjaknya luar biasa membuat orang enggan bepergian. Sensitif sekali itu kita pada tarif," katanya.

Dampak negatif terburuk dari mahalnya biaya menggunakan pesawat ini kata dia bisa berujung kepada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan. Menurutnya, hal tersebut bisa saja terjadi jika hal ini terus menerus dibiarkan berlangsung lama.

"Bagi orang yang bepergian, kalau tiga bulan kayak gini, bisa-bisa nanti ada PHK. Wong perusahaan nggak ada pemasukan. Larinya ke efisiensi," ungkapnya. (eds/ara)

Hide Ads