"Ini merupakan kebijakan yang berbau populis. Di awal pemerintahan Jokowi kan janji bahwa APBN akan diarahkan untuk belanja infrastruktur yang produktif," kata Bhima.
Namun, menjelang Pilpres belanja pegawai naik sedangkan untuk infrastruktur justru turun. Atas hal tersebut lah kebijakan tersebut berbau populis.
"Faktanya jelang Pemilu 2019 belanja belanja pegawai justru naik 22% dan belanja barang naik 18,4% dalam periode yang sama, sementara belanja modal yang berkaitan dengan infrastruktur turun -9,25%. Ini kan populis banget karena kejar suara pemilu," lanjut Bhima.
Bhima juga mengatakan dampak kenaikan gaji PNS ke ekonomi tidak akan signifikan. Pasalnya porsi belanja pemerintah hanya 10%.
"Terkait dampak ke ekonomi saya kira nggak signifikan. Porsi belanja pemerintah cuma 9-10% dari total PDB. Naiknya gaji PNS belum mampu dorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara nasional," kata Bhima.
Sementara itu peneliti dari INDEF Nailul Huda menilai bila dilihat dari kacamata makro ekonomi, gaji PNS memang sudah seharusnya naik. Mengingat gaji PNS sudah lama tak mengalami kenaikan.
"Sama halnya dengan upah minimum, ada faktor inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator besaran kenaikan. PNS juga perlu untuk dinaikkan gajinya dan itu sah-sah saja," katanya.
Di sisi lain, kata Huda, kebijakan untuk menaikkan gaji PNS ini memang menguntungkan pihak petahana terkait dengan Pilpres. Namun, kata dia, pemerintah juga perlu waspada adanya inflasi jelang Ramadan dengan adanya kebijakan ini.
"Pemerintah juga harus mewaspadai inflasi pada bulan April-Juni karena ada faktor kenaikan pendapatan PNS serta inflasi tahunan (bulan Ramadan)" tuturnya. (fdl/zlf)