Seiring dinamika industri perfilman hingga penghentian suntikan modal dari negara pada 1996, PFN mengalami guncangan. PFN 'istirahat' dalam memproduksi film.
Lama tak memproduksi film, PFN kemudian masuk masa kelam hingga jadi salah satu BUMN yang memiliki neraca keuangan negatif dengan utang mencapai Rp 11 miliar. PFN sempat menjadi BUMN Dhuafa.
Direktur Utama PFN Mohamad Abduh Aziz mengungkapkan, saat ini pun kondisi perusahaan sudah berangsur membaik. Bahkan PFN disebut telah mencetak untung, meski dia tak merinci berapa keuntungan yang diperoleh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang jauh lebih ringan ketimbang dulu. Karena utang-utang kita juga mulai kita bereskan kan pelan-pelan. Terutama pajak-pajak yang belum dibayarkan segala macam. Piutang juga dibereskan segala macam," sambungnya.
Abduh hanya mengatakan pada 2018 lalu PFN berhasil memperoleh pendapatan hingga Rp 26 miliar. Sementara untuk tahun ini, kata Abduh, perusahaan menargetkan bisa meraup hingga Rp 48 miliar.
"Angkanya untuk revenue tahun lalu kita baru sampai sekitar Rp 26 miliar ya. Diharapkan tahun ini kita bisa mencapai Rp 48 miliar. Itu revenue ya, belum margin," katanya.
Abduh menjelaskan, PFN bisa berhasil keluar dari status BUMN dhuafa berkat adanya sinergi BUMN. PFN, kata Abduh, masih menggarap sejumlah proyek-proyek yang dibutuhkan dari BUMN lainnya.
"Klien kita adalah BUMN sebenarnya. Ya kan kita bukan hanya bikin film bioskop, banyak services yang terkait audiovisual, ya dokumenter, ya company profile, ya commercial, itu ke PFN," jelas Abduh.
Abduh pun optimistis PFN bisa kembali bangkit seperti sedia kala. Apalagi, kata Abduh, PFN sudah berani meluncurkan kembali film baru yang dapat mendongkrak keuangan perusahaan.
"Iya otomatis, dengan dukungan sponsor dan investasi, otomatis itu menaikkan performance kita. Nah kalau masih dibatasi hanya services saja, itu besar, tapi juga harusnya dengan film bioskop harusnya kita jauh lebih punya kemungkinan untuk meraup keuntungan yang lebih besar," tutur Abduh.