Jakarta -
Ramai-ramai para pejabat negara menepis anggapan mengenai Indonesia berada dalam tahap deindustrialisasi.
Mulai dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mengatakan industri terus bergerak positif perkembangannya, ditandai dengan besarnya kontribusi industri manufaktur terhadap pendapatan nasional.
Selain JK, Menteri Perindustrian Airlangga Hartato pun menyinggung masalah nilai kontribusi industri terhadap pendapatan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga kompak menolak anggapan deindustrialisasi di Indonesia.
Bagaimana info selengkapnya? Klik halaman berikutnya.
JK menepis anggapan dari berbagai pihak bahwa Indonesia mengalami proses deindustrialisasi. Menurutnya industri masih kuat menggenjot perekonomian negara.
"Beberapa hari ini dikatakan di Indonesia deindustrialisasi, padahal berdasarkan data tidak benar," tegas pria yang akrab disapa JK ini, pada saat memberikan sambutan pada acara Indonesia Industrial Summit 2019, di ICE BSD, Senin (15/4/2019).
JK menilai bahwa industri menjadi sektor tertinggi pendapatan nasional. Dalam data yang ia sebutkan industri bertumbuh sebesar 21,3% sejak 2014.
"Industri tetap jadi sektor yang tertinggi dalam PDB kita. Yang pada tahun 2014-2019 pertumbuhannya 21,3% artinya industri tetap jadi sektor tertinggi dalam pendapatan nasional," kata JK.
JK menegaskan bahwa berdasarkan data tersebut, deindustrialisasi tidak terjadi. Karena, dia menilai industri justru terus berkembang.
"Artinya industri berkembang dan tidak ada deindustrialisasi," tegas JK.
Airlangga Hartato menepis anggapan bahwa Indonesia berada dalam deindustrialisasi. Pasalnya pertumbuhan kontribusi industri terhadap pendapatan nasional dinilai cukup tinggi.
Airlangga mengatakan kontribusi industri terhadap pendapatan nasional sudah tidak bisa lagi dibandingkan dengan tahun 1998. Pasalnya saat itu pendapatan nasional masih tergolong kecil menurutnya.
"Sudah disampaikan bahwa dunia ini new normal. Jadi di tahun 98, jaman ayah saya, Indonesia itu 30% (kontribusi industri terhadap PDB) tapi kita punya PDB itu US$5 miliar," ungkap Airlangga.
Justru sekarang dengan pendapatan negara yang makin besar, menurut Airlangga pertumbuhan kontribusi industri yang berada di bawah 30% terhadap pendapatan sudah termasuk tinggi nilainya. Dia juga memaparkan bahwa tidak ada lagi negara dengan pertumbunan kontribusi industri terhadap pendapatan nasional sebesar 30%.
"Sekarang kita sudah 1 triliun economy. Nah (kontribusi industri) PDB kita sekarang sudah kira-kira 20%. Negara yang PDB-nya terhadap industri manufakturnya 30% di dunia ini 0," tegas Airlangga.
Airlangga meneruskan bahwa China saja hanya 29% kontribusi industrinya kepada pendapatan nasional. Lalu dia juga menyebutkan kontribusi industri Indonesia sama besarnya dengan Jerman.
"Jadi catat, China 29%, jadi kalau bicara begitu maka China pun tidak masuk negara industri. Jepang itu juga di bawah (30%), Jerman sama dengan Indonesia 20%. Sekarang Jerman dan Indonesia aja sama-sama 20%," kata Airlangga.
Dia menyimpulkan kini suatu negara disebut negara industri bila kontribusi industrinya sebesar 16,5% dari pendapatan nasional. Dia menilai itu merupakan standar baru masa kini.
"Artinya apa? Ya negara industri standar baru itu di 16,5% karena dari 16,5% itu ada yang namanya service related to the industry," ungkap Airlangga.
Lebih lanjut menurutnya kini tren industri bukan hanya fokus pada industri utama. Namun ada beberapa hasil dari industri utama yang harus diperhatikan.
Industri otomotif misalnya, di dalamnya ada ada juga hasil seperti perbengkelan. Kemudian Airlangga juga mencontohkan pada industri makanan minuman, ada hasil dari industri induknya berupa mini market.
"Jadi kalau kita bicara industri otomotif ada perbengkelan nya, service-nya, dan lain-lain. Industri makanan minuman juga, ujungnya ada minimarketnya. Jadi industri dan services related to the industry," kata Airlangga.
Darmin ikut menepis anggapan bahwa Indonesia berada dalam tahap deindustrialisasi. Darmin menegaskan bahwa di dunia modern tidak bisa hanya melihat kontribusi industri manufaktur saja.
Darmin menerangkan bahwa kini industri jasa mulai dari sektor pariwisata hingga ekonomi digital pun harus diperhatikan. Walaupun industri jasa tidak mempengaruhi angka kontribusi manufaktur terhadap pendapatan nasional.
"Kan kita hidup di dalam satu periode di mana persoalan jasa, persoalan pariwisata, digital, dan sebagainya masuk. Begitu dia mulai masuk ke aspek-aspek yang tidak langsung manufaktur memang tidak selalu kemudian dicapai peranan manufaktur itu harus di atas 30%," kata Darmin.
Darmin menilai cara penilaian majunya industri suatu negara yang hanya melihat perkembangan manufakturnya saja sudah ketinggalan zaman. Dia menyebutkan itu hanya pakem dunia di masa lalu, padahal dunia terus berubah dengan cepatnya.
"Jadi jangan terlalu kaku mengikuti pakem-pakem dunia di masa lalu. Dunia itu bergerak berubah," tegas Darmin.
Pariwisata misalnya, Darmin menilai sektor tersebut memiliki peluang yang besar untuk mendongkrak ekonomi negara. Meskipun, Indonesia dikenal dengan komoditas sumber daya alam nya yang kuat, namun Darmin menilai pariwisata nasional sedang naik daun.
"Kita memang negara dengan sumber daya nya bisa pertanian, pertambangan tapi juga bisa di sektor jasa, seperti pariwisata. Apa ekspor kita yang terbesar kalau dilihat per komoditi nya, satu adalah kelapa sawit, kedua pariwisata," kata Darmin.
Halaman Selanjutnya
Halaman