-
Stok beras RI di gudang Bulog menumpuk 2,4 juta ton dan terancam busuk. Salah satu jalan untuk menyelamatkannya yakni dengan ekspor. Namun, RI masih memiliki kendala ekspor beras yakni mahalnya harga beras dalam negeri dibandingkan negara lain seperti Vietnam dan Thailand.
Benarkah harga beras RI lebih mahal dari rata-rata harga internasional? Lalu, bagaimana caranya agar harga beras RI bisa bersaing dengan negara lain?
Menurut harga beras internasional yang dikutip dari Food and Agriculture Organizations (FAO), harga internasional beras ekspor kualitas bawah (varitas white rice 25% broken) dari Thailand sendiri seharga US$ 382 per ton atau setara dengan Rp 5.395.368 (kurs Rp 14.000), sehingga harga per kilogramnya sekitar Rp 5.395 (data Juni 2019). Kemudian, harga beras dengan kualitas sama di Vietnam seharga US$ 377 per ton atau setara Rp 5.324.748. Artinya, harga beras ekspor Vietnam per kilogramnya sekitar Rp 5.324.
Lalu, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga beras dalam negeri kualitas bawah I hari ini yang termurah yakni di wilayah DKI Jakarta Rp 8.200/kg. Artinya, selisih harga beras termurah milik Indonesia dengan harga beras ekspor Thailand dan Vietnam sekitar Rp 2.900.
Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso. Ia mengatakan, harga beras produksi dua negara tersebut, juga Kamboja dan Myanmar memang lebih murah.
"(Harga beras) orang di Thailand itu lebih murah, Vietnam, Kamboja, Myanmar, itu memang lebih murah," kata Sutarto kepada detikFinance, Selasa (9/7/2019).
Kemudian, pengamat pangan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah juga mengatakan hal serupa.
"Beras kita mahal. Kita mahal dibandingkan Vietnam, Thailand, China, India, Filipina, kita masih mahal per satu kilogram," tutur Rusli ketika dihubungi detikFinance.
Sutarto mengatakan, Indonesia masih dililit masalah mendasar dalam pertanian padi. Sehingga, untuk ekspor masih jauh jalannya. Namun, ia mengatakan tak mustahil bagi RI untuk ekspor beras.
"Sebenarnya kalau semua program berjalan dengan baik, kemudian produktivitasnya bisa ditingkatkan, kualitasnya juga bisa ditingkatkan, tidak mustahil suatu saat akan bisa ekspor, suatu saat ya," ungkap Sutarto.
Sedangkan, Rusli mengatakan RI tidak bisa mengekspor beras karena surplus stok beras dalam negeri pun masih belum cukup untuk diekspor.
"Kita untuk ekspor beras itu nggak bisa, ekspor beras itu susah, ekspor dalam skala yang besar itu kurang tepat. Kalau seandainya ekspor ya nggak bisa, karena surplusnya masih sedikit," ujar Rusli.
Rusli mengatakan, stok Bulog yang surplus sebanyak 2,4 juta ton tersebut hanya berlebih untuk konsumsi dalam negeri selama kurang lebih satu bulan, sehingga sebaiknya disimpan.
"Ekspor dalam skala yang besar itu kurang tepat. Tahun 2018 kemarin surplus beras kita 2,85 juta ton, itu sama dengan satu bulan lebih seminggu konsumsi kita. Setiap bulan kan konsumsinya sekitar 2 juta ton. Jadi kan 2,8 itu harusnya untuk persediaan satu bulan ke depan. Kalau seandainya ekspor ya nggak bisa, karena surplusnya masih sedikit," jelas Rusli.
Kemudian, Rusli mengatakan musim kemarau ini bisa menjadi kesempatan Bulog 'melempar' stok beras berlebih tersebut ke daerah-daerah yang gagal panen atau puso dan juga kekeringan. Faktanya, memang ada 9.358 hektare sawah padi yang gagal panen atau puso dari 102.746 hektare sawah yang mengalami kekeringan di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
"Good news untuk Bulog, beberapa daerah mulai kekeringan. Sehingga, pasokan beras bulan Agustus kita kurang. Ketika pasokan beras kurang itu lah Bulog bisa masuk, bisa digelontorkan di situ. Jadi saya kira bulog tidak perlu ekspor. Dia bisa melempar berasnya ke daerah yang telah terindikasi gagal panen," papar dia.
Faktor produksi menjadi penyebab utama harga beras RI lebih mahal dibandingkan harga beras internasional. Pasalnya, produksi beras ini masih dilakukan dengan cara-cara konvensional. Hal tersebut berkaitan dengan kepemilikan sawah petani yang kecil, sehingga tak efisien apabila produksi beras menggunakan teknologi pertanian terbaru, yang kemudian berdampak pada mahalnya harga beras dalam negeri.
"Kenapa konvensional? Karena memang lahannya sempit. Nah kenapa lahannya sempit? Karena memang selama ini harga jualnya tidak menutup biaya produksi. Sehingga petani ini tidak berkembang, karena lahannya sempit tadi. Lahan sempit ini kan teknologi dan sebagainya sulit masuk," jelas Sutarto.
Kemudian, masalah sewa lahan juga menyebabkan harga beras dalam negeri masih tinggi. Pengamat pangan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengatakan, sebagian besar petani Indonesia tergolong petani gurem atau petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare.
"Petani kita masih sewa lahan. Sebagian besar petani kita petani penggarap, bukan petani pemilik lahan, karena banyak petani gurem.Mereka tetap sewa tanah tahunan, itu yang menjadikan kita mahal," terang Rusli.
Kemudian, ia juga menyebutkan soal buruh tani yang bayarannya cukup tinggi. Kurangnya minat generus muda untuk menjadi petani mengharuskan sejumlah pemilik sawah padi untuk membayar buruh.
"Kemudian masalah buruh. Petani kita sudah tua-tua, sehingga buruhnya berkurang, orang yang muda-muda nggak mau jadi petani. Kita supply petaninya berkurang, demandnya untuk tenaga tani tinggi, ini akhirnya harga buruhnya mahal. Sekarang buruh di sawah desa-desa itu bayarannya Rp 50.000-70.000 sehari, kan mahal itu. Jadi untuk masalah ekspor kita susah," lanjut Rusli.
Terakhir, biaya transportasi atau pengiriman. Sutarto mengatakan, biaya transportasi mahal dan juga adanya gangguan preman yang dapat menyebabkan tingginya biaya produksi, sehingga harga beras RI mahal.
"Biaya transportasi kita mahal, itu yang mestinya harus dilihat. Kadang-kadang kita hanya melihat harga berasnya tapi tidak melihat bagaimana persaingan atau biaya transport di kita ASEAN. Mestinya begitu. Dan juga mesti lihat apakah di sana banyak preman atau tidak," tandas Sutarto.