Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengatakan masuknya investasi terlihat belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan Indonesia, yaitu padat karya di sektor sekunder.
Kinerja investasi di Indonesia disebut belum mampu mendorong kinerja sektor riil. Hal itu tercermin dari minimnya jumlah penyerapan tenaga kerja, meskipun investasi meningkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bilang, investasi di Indonesia di kuartal II-2019 yang sebesar Rp 200,5 triliun ternyata tak mampu mendorong penciptaan jumlah tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, jumlah penciptaan tenaga kerja malah menurun.
Dia menjelaskan, pada kuartal II-2019 jumlah penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 255 ribu orang atau menurun dibanding kuartal II-2018 yang mencapai 289 ribu orang.
"Jadi terjadi penurunan, sementara investasi naik dari Rp 176 triliun ke 200,5 triliun. Investasi naik tapi malah kemampuan menciptakan lapangan kerja malah menurun," kata Heri di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Menurutnya, hal itu disebabkan dari model investasi yang masuk ke Indonesia dominan ke sektor tersier atau jasa. Sedangkan sektor primer seperti pertanian atau pertambangan hingga sektor sekunder seperti manufaktur atau pengolahan justru menurun.
"Sekunder dan primer seperti ditinggalkan oleh investor asing, ini datanya jeblok. Kalau dulu lebih padat di sekunder sekarang lebih banyak ke tersier seperti keuangan, jasa, dan lain-lain," katanya.
Dengan demikian, ia menegaskan, kemampuan investasi untuk menciptakan tenaga kerja masih lemah. Investor lebih melirik investasi di sektor tersier yang lebih capital intensive ketimbang labour intensive.
"Investasi, memang relatif bisa dibilang tumbuh tapi kecil. Sehingga dampak terhadap ekonominya semakin tidak terlihat," katanya.
(fdl/ara)