BPK Duga Ada Pemborosan Rp 275 M di PLN

BPK Duga Ada Pemborosan Rp 275 M di PLN

Trio Hamdani - detikFinance
Selasa, 17 Sep 2019 20:30 WIB
Ilustrasi PLN/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan pemborosan yang terjadi di PT PLN (Persero) dalam rangka pengelolaan subsidi/kewajiban pelayanan publik. BPK mencatat pemborosan di perusahaan listrik negara itu sebesar Rp 275,19 miliar.

Hal itu berdasarkan laporan Ihktisar Hasil Pemeriksaan BPK pada semester I-2019 dengan tujuan tertentu (DTT) atas pengelolaan belanja subsidi.

Terdapat pemborosan pada PT PLN sebesar Rp 275,19 miliar, dengan rincian specific fuel consumption (SFC) Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) mobile power plant (MPP) Batam. Itu dioperasikan dengan bahan bakar high speed diesel (HSD), lebih tinggi dibandingkan batas SFC Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbahan bakar minyak sebesar Rp 198,69 miliar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikutnya PT Indonesia Power/PT IP (anak perusahaan PT PLN) menanggung dampak take or pay (ToP) sebesar Rp 36,97 miliar, atas jasa sewa compressed natural gas (CNG) pada Pembangkit Listrik Tambak Lorok. Permasalahan pemborosan lainnya sebesar Rp 39,53 miliar.

Rekomendasi BPK adalah Direksi PT PLN melakukan dan menetapkan kajian strategis pemanfaatan MPP, yaitu dengan mempertimbangkan capacity factor (CF) yang disesuaikan dengan kebutuhan sistem kelistrikan, serta SFC yang disesuaikan dengan Surat Edaran Direksi PLN.



Selain itu, Direksi PT PLN diminta memerintahkan Direksi PT IP untuk menegosiasi Kontrak Jasa Sewa CNG Plant, dengan merujuk pada perjanjian jual beli gas sebagai acuan volume ToP guna menghindari risiko pembayaran ToP.

Selain itu, BPK juga menyebut PT PLN kehilangan kesempatan melakukan penghematan pada 2018 lalu. Itu karena pembayaran skema ToP menggunakan proyeksi faktor kesediaan dan klausul pembayaran dengan nilai kurs jual US$ pada jual beli Iistrik Independent Power Producer (IPP), serta pembangkit sewa. Itu menghilangkan kesempatan PT PLN menghemat masing-masing sebesar Rp 676,98 miliar dan Rp 431,27 miliar selama 2018.

Pada periode yang akan datang PT PLN berpotensi kehilangan kesempatan menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) atas tidak terserapnya batas minimum energi Iistrik pada IPP dan sewa.

Untuk itu, BPK merekomendasikan kepada Direksi PT PLN agar melakukan kajian strategis terkait reserve margin dan take or pay atas kWh yang tidak terserap oleh PLN, serta selanjutnya menetapkan batasan reserve margin masing-masing sistem sebagai pedoman penyusunan perencanaan pembangkit.

detikFinance telah berusaha mengonfirmasi mengenai hal ini ke Vice President Public Relation PLN Dwi Suryo Abdullah dan Executive Vice President Corporate Communication PLN, I Made Suprateka. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada respons mengenai hal tersebut.




(toy/eds)

Hide Ads