Berdasarkan draft RUU KUHP yang dikutip detikcom, Rabu (25/9/2019), tegas disebutkan 'setiap orang' adalah perseorangan dan korporasi. "Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi," demikian bunyi Pasal 182.
Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan korporasi merupakan subjek tindak pidana. Bagi korporasi yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, maka bisa dikenakan pidana pokok dan pidana tambahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mudah sekali memanipulasi regulasi yang ada di Indonesia untuk membatalkan kontrak atau mengkriminalkan pelaku usaha atau kegiatan usaha," kata Shinta saat dihubungi detikcom, Rabu (25/9/2019).
"Secara logika, karena kedua faktor tersebut, risiko berusaha di Indonesia menjadi tidak bisa diprediksi dan dalam worst case scenario, perusahaan dan pelaku usaha bisa dikriminalisasi," sambungnya.
Shinta menjelaskan, efek kriminalisasi ini akan berdampak buruk dari sisi bisnis karena bisa mencoreng nama baik perusahaan dan berdampak pada kinerja. Bila demikian, maka kegiatan bisnis bisa langsung mati seketika.
"Misalnya nama baik perusahaan, kepercayaan investor sampai brand value. Ini akan berdampak pula ke kegiatan usaha secara keseluruhan seperti harga saham, valuasi pemberi pinjaman terhadap perusahaan, proyeksi permodalan sampai penjualan," jelas dia.
Ujung-ujungnya, kata Shinta, aturan ini juga pasti berdampak terhadap kemudahan berbisnis di Indonesia dan mempengaruhi investasi yang akan masuk.
"Legal certainty dan penegakan kontrak (contract sanctity) di Indonesia selalu menjadi masalah bagi pelaku usaha dan investor bahkan dalam ease of doing business 2019 pun ranking Indonesia untuk keduanya sangat rendah, masih di atas 130," tuturnya.
(fdl/fdl)