Intercroping, menurut Syahrul, nantinya ketika produksi coklat, kopi dan kelapa sudah siap ekspor, di bawah 100 hari lahan sudah bisa ditanami pepaya, kacang dan juga ternak.
"Ini yang harus kita tuju besok bahwa mulai dari tanaman 100 hari kita miliki, tanaman jangka panjang juga kita miliki, Ini akan membangun 'bargain' petani menjadi lebih kuat. Kami akan menuju ke sana dengan syarat mulai dari Gubernur sampai tingkat Camat harus bekerja sama," ujar Syahrul dalam keterangan tertulis, Minggu (8/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Wakil Gubernur Sulawesi Barat, Enny Anggraeni Anwar, yang juga turut mendampingi menjelaskan pada tahun 2019, di Sulawesi Barat (Sulbar) telah dilakukan peremajaan kakao seluas 270 hektar dan perluasan kopi 300 hektar.
"Luas lahan perkebunan di Sulbar yang berpotensi untuk pengembangan kakao, kopi, pala, lada, cengkeh, kelapa sawit ada 635,933 hektar," ujar Enny.
Lebih lanjut, fokus Kementerian Pertanian untuk pengembangan kakao terdapat pada dua hal yaitu peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas yang berkelanjutan.
"Seperti yang pernah saya sampaikan di Forum Indonesian International Cocoa Conference yang dilaksanakan di Bali beberapa waktu lalu bahwa peningkatan produksi dan produktivitas berbasis kawasan kakao adalah melalui program BUN-500 (perluasan, peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi, GAP dan inovasi teknologi perbenihan modern). Itu strategi yang coba pemerintah tempuh dalam pengembangan kakao," pungkas Direktur Jenderal Perkebunan, Kasdi Subagyono.
Sebagai informasi, Indonesia merupakan produsen kakao peringkat 3 dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Produksi kakao tahun 2018 mencapai 593,83 ribu ton. Sebanyak 380,75 ribu ton kakao berhasil diekspor dengan nilai USD 1,24 miliar.
Saat ini, 60% areal kakao Indonesia berada di daerah Sulawesi, di mana dari produksi total nasional tersebut, sekitar 95% merupakan kakao yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat pada areal 1,68 juta hektar. (ega/dna)