Dikepung Banjir Parah, Jakarta Terancam bakal Tenggelam

Dikepung Banjir Parah, Jakarta Terancam bakal Tenggelam

Soraya Novika - detikFinance
Minggu, 05 Jan 2020 20:17 WIB
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya di malam pergantian tahun 2020 menyebabkan 130 titik se-Jabodetabek terendam banjir.

Banjir kali ini disebut-sebut sebagai salah satu musibah banjir terbesar yang dialami di wilayah Jabodetebek sekaligus memperkuat anggapan yang mengatakan Jakarta di masa depan bakal tenggelam.

Laporan berjudul New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Rise and Coastal Flooding yang terbit di jurnal Nature Communications pada 29 Oktober 2019 memprediksi Jakarta dan 7 negara di Asia lainnya akan tenggelam pada 2050.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu memungkinkan karena topografi garis pantai dan permukaan air laut di seluruh dunia akan naik drastis hingga mencapai 2 meter (m) lebih dalam dekade mendatang.



Pendiri sekaligus Ketua Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali pun tak memungkiri anggapan serta laporan tersebut.

"Memang ada ancaman permukaan tanah kita (Jakarta dan sekitarnya) akan lebih rendah dari permukaan laut, nanti kita akan diancam oleh rob yang permanen (tenggelam)," ujar Firdaus Ali kepada detikcom, Minggu (5/1/2020).

Alasan utama yang membuat wacana tersebut terjadi sebab resapan air hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya kian lama kian berkurang.

"Luasnya DKI Jakarta itu ada 662 kilometer persegi (km²), luas daerah aliran sungai dari 13 sungai itu mendekati 2000 km², jadi 3 kali lipat daripada luasnya Jakarta. Jika di hulu das (daerah aliran sungai) tadi terjadi perubahan fungsi lahan, yakni dulu hutan lalu kemudian berubah menjadi kawasan industri, menjadi pemukiman, lalu menjadi daerah komersial artinya daerah resapan air hujan akan hilang atau berkurang," tuturnya.


Klik halaman selanjutnya


Berkurang atau hilangnya daerah resapan air di suatu kawasan pada akhirnya memaksa air yang turun ke bumi untuk mencari daerah yang lebih rendah yang bisa dialiri air tersebut hingga mencapai hilirnya.

"Yang terjadi di Jakarta, 13 daerah aliran sungai (das)nya dikonversi guna lahan dengan sangat masif sekali dalam 50 tahun terakhir. Sehingga akan semakin banyak air limpasan dari 13 das itu masuk ke kawasan Ibu Kota. Ini kita bicara dalam keadaan hujan normal saja, belum hujan dalam keadaan ekstrim, otomatis apa yang terjadi, saluran atau kali yang ada tidak akan mampu menampung limpasan ini, karena jumlahnya masif kan," terangnya.

Ditambah lagi, saluran yang ada (13 das) semakin lama semakin menyempit akibat tumpukan sampah atau masifnya pertumbuhan bangunan di dekat sungai.

Selain itu, pertumbuhan populasi pun cukup berperan. Korelasinya yaitu dengan kebutuhan air yang semakin meningkat sehingga membuat entitas komersial seperti gedung perkantoran, apartemen, hotel, hingha mal mengambil air tanah dalam jumlah berlebihan namun tidak diisi kembali sebagaimana seharusnya.

"Ini yang memicu terjadi nya penurunan muka tanah di DKI Jakarta dengan kecepatan yang tinggi sekali. Rata-rata laju turun muka tanah kita sekarang ya 10 cm - 11 cm pert ahun," imbuhnya.

Turunnya muka tanah ini membuat cekungan baru lalu menimbulkan daerah genangan baru di Jakarta dan sekitarnya.

"Jadi kalau hujan, normal saja dia akan menggenang, apalagi deras," ujarnya.

Dalam waktu yang bersamaan, menurut Firdaus, permukaan air laut pun senantiasa mengalami kenaikan.

"Di laut itu terjadi kenaikan permukaan air laut dampak dari pemanasan global. Artinya ada ancaman permukaan tanah kita akan lebih rendah dari permukaan laut, itu yang bisa membuat Jakarta tenggelam," tutupnya.

Hide Ads