- Hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya di malam pergantian tahun 2020 menyebabkan 130 titik se-Jabodetabek terendam banjir.
Lantas, mengakibatkan 724 wilayah mengalami pemadaman listrik, 9 orang meninggal dunia dan lebih dari 19.000 warga diungsikan.
Untuk itu banjir kali ini disebut-sebut sebagai salah satu musibah banjir terbesar yang dialami di wilayah Jabodetebek sekaligus memperkuat anggapan yang mengatakan Jakarta di masa depan bakal tenggelam.
Sebelumnya, sebuah laporan berjudul New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Rise and Coastal Flooding yang terbit di jurnal Nature Communications pada 29 Oktober 2019 memprediksi Jakarta dan 7 negara di Asia lainnya akan tenggelam pada 2050.
Hal itu memungkinkan karena topografi garis pantai dan permukaan air laut di seluruh dunia akan naik drastis hingga mencapai 2 meter (m) lebih dalam dekade mendatang.
Menilik hal tersebut, mungkinkah Jakarta bakal tenggelam karena banjir?
Penyebab Jakarta Diramal Bakal Tenggelam Pendiri sekaligus Ketua Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali pun tak memungkiri anggapan serta laporan tersebut.
"Memang ada ancaman permukaan tanah kita (Jakarta dan sekitarnya) akan lebih rendah dari permukaan laut, nanti kita akan diancam oleh rob yang permanen (tenggelam)," ujar Firdaus Ali kepada detikcom melalui percakapan telepon genggam, Minggu (5/1/2020).
Firdaus Ali kemudian menjelaskan alasan dibalik kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Alasan utama yang membuat wacana tersebut terjadi sebab resapan air hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya kian lama kian berkurang.
"Luasnya DKI Jakarta itu ada 662 kilometer persegi (km²), luas daerah aliran sungai dari 13 sungai itu mendekati 2000 km², jadi 3 kali lipat daripada luasnya Jakarta. Jika di hulu das (daerah aliran sungai) tadi terjadi perubahan fungsi lahan, yakni dulu hutan lalu kemudian berubah menjadi kawasan industri, menjadi pemukiman, lalu menjadi daerah komersial artinya daerah resapan air hujan akan hilang atau berkurang," tuturnya.
Berkurang atau hilangnya daerah resapan air di suatu kawasan pada akhirnya memaksa air yang turun ke bumi untuk mencari daerah yang lebih rendah yang bisa dialiri air tersebut hingga mencapai hilirnya.
"Yang terjadi di Jakarta, 13 das nya dikonversi guna lahan dengan sangat masif sekali dalam 50 tahun terakhir. Sehingga akan semakin banyak air limpasan dari 13 das itu masuk ke kawasan Ibu Kota. Ini kita bicara dalam keadaan hujan normal saja, belum hujan dalam keadaan ekstrim,otomatis apa yang terjadi, saluran atau kali yang ada tidak akan mampu menampung limpasan ini, karena jumlahnya masif kan," terangnya.
Ditambah lagi, saluran yang ada (13 das) semakin lama semakin menyempit akibat tumpukan sampah atau masifnya pertumbuhan bangunan di dekat sungai.
Selain itu, pertumbuhan populasi pun cukup berperan. Korelasinya yaitu dengan kebutuhan air yang semakin meningkat sehingga membuat entitas komersial seperti gedung perkantoran, apartemen, hotel, hingha mal mengambil air tanah dalam jumlah berlebihan namun tidak diisi kembali sebagaimana seharusnya.
"Ini yang memicu terjadi nya penurunan muka tanah di DKI Jakarta dengan kecepatan yang tinggi sekali. Rata-rata laju turun muka tanah kita sekarang ya 10 cm - 11 cm pertahun," imbuhnya.
Turunnya muka tanah ini membuat cekungan baru lalu menimbulkan daerah genangan baru di Jakarta dan sekitarnya.
"Jadi kalau hujan, normal saja dia akan menggenang, apalagi deras,"
Dalam waktu yang bersamaan, menurut Firdaus, permukaan air laut pun senantiasa mengalami kenaikan.
"Di laut itu terjadi kenaikan permukaan air laut dampak dari pemanasan global. Artinya ada ancaman permukaan tanah kita akan lebih rendah dari permukaan laut, itu yang bisa membuat Jakarta tenggelam," tutupnya.
Solusi Cegah Jakarta TenggelamPendiri sekaligus Ketua Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali mengungkapkan solusi yang dapat diambil pemerintah agar bisa menjauhkan Jakarta dari ancaman tenggelam karena banjir.
Salah satu yang utama adalah koordinasi antar kementerian dan lembaga beserta pemerintah daerah dalam mengatasi banjir di Jabodetabek terlebih dahulu.
"Lakukan tindakan nyata di antaranya adalah lewat upaya-upaya pengelolaan terpadu dari hulu sampai ke hilir, terpadu lintas wilayah, lintas kementerian dan lembaga, lalu disinkorinisasikan, sinergikan, lakukan kolaborasi bersama untuk mengatasi resiko atau ancaman bencana banjir dan genangan ini," ujar Firdaus Ali kepada detikcom, Minggu (5/1/2020).
Adapun upaya-upaya yang dimaksud adalah berupa penanganan di hulu dengan dua pendekatan.
"Pendekatan non struktural dan struktural," sambungnya.
Penanganan non struktural menurut Firdaus ialah salah satunya berupa penghijauan kembali lahan-lahan di bangunan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB).
"Regulasi diperketat, terkait misalkan dengan konversi lahan. Villa-villa atau bangunan yang tidak punya izin IMB kita bongkarin, kita hutankan kembali," imbuhnya.
Lantas, penanganan struktrul dapat berupa pemeliharaan sungai dan prasarana sungai yang mencakup tindakan preventif dan rehabilitative seperti pemeliharaan bangunan sungai, pemeliharaan pos dan alat pemantau kondisi hidrologi, hidroklimatologi dan kualitas air dan pemeliharaan dataran banjir dan pengendalian pemanfaatan dataran banjir.
"Yang sifatnya struktural kita harus membuat waduk retensi untuk menahan sejumlah air kira-kira 10 jam lamanya, sehingga dia tidak tertumpah langsung ke hilir Jakarta dan sekitarnya. Waduk retensi ini seperti yang tengah dibangun yaitu bendungan kering Ciawi dan Sukamahi," terangnya.
Terakhir adalah normalisasi di 13 daerah aliran sungai (DAS) DKI Jakarta. Adapun ketigabelas DAS itu meliputi Sungai Mookervaart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Krukut, Grogol, Kali Baru Barat, Sungai Ciliwung, Kali Baru Timur, Sungai Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Sungai Jati Kramat, dan Kali Cakung.
"Kali ciliwung ini adalah sungai yang paling besar yang memberikan ancaman banjir terhadap wilayah ibu kota termasuk wilayah elite. Sehingga yang sudah disepakati oleh Pemprov DKI sebelumnya dengan Kementerian PUPR untuk melakukan normalisasi sepanjang 33,69 km dari jembatan TB Simatupang sampai Manggarai sudah tepat," tutupnya.