"Kalau di daerah lain mengeluh cabai mahal, cabai mahal. Itu tidak terjadi di Surabaya, karena kami bisa tanam cabai sendiri, kami bisa menanam sayur sendiri," kata Risma dalam gelaran Indonesia Millenial Summit 2020 di The Tribrata, Jakarta Selatan, Jumat (17/1/2020).
Dengan menjaga stabilitas harga cabai itu, menurut Risma inflasi di Surabaya bisa terkendali. Selain itu, ia juga memberdayakan industri hotel di Surabaya untuk membeli sayur produksi warga kota tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan seluruh hotel kami sudah gunakan itu. Jadi warga selain menggunakan untuk sendiri juga mereka jual. Sehingga masyarakat mendapatkan income dari penjualan urban farming tadi," sambungnya.
Keberhasilan tersebut berawal dari cara pengelolaan sampah di Surabaya. Menurutnya, dengan merombak habis cara pengelolaan sampah, sederet hal positif muncul di kota tersebut.
"Masyarakat mengelola dan kemudian mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganiknya mereka jual. Dan kemudian kita ajarkan pula, setelah jadi kompos untuk apa. Kalau tidak laku maka warga kita ajarkan mereka membuat program yang namanya urban farming," jelas Risma.
Pengelolaan sampah ini tak hanya berguna untuk menjadi pupuk kompos, tapi juga kata Risma berdampak signifikan pada kualitas udara di Surabaya.
"Jadi misal tentang pengelolaan sampah, saya tahu bahwa sampah kalau tidak diolah dengan baik, bukannya cuma kota itu menjadi kotor, tapi bahwa juga akan membuat gas metan yang merusak sistem udara di Indonesia khususnya di Surabaya," ucap Risma.
Perlu diketahui, selain program-program pengolahan sampah di atas, Risma juga membuat pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
"Kami juga skala besar kami mempunyai TPA yang saat ini sudah menjadi 11 megawatt (MW) jadi menghasilkan listrik, kami olah melalui program gasifikasi. Kami tidak gunakan inseminator karena kami punya pengalaman buruk dengan itu. Kemudian kami coba gunakan gasifikasi," pungkasnya.
(ara/ara)