Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bergantinya status Indonesia sebagai negara maju hanya berpengaruh kepada tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara untuk eksportir (Countervailing Duties/CVDs).
Meski begitu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut CVD's tidak akan berdampak terlalu besar terhadap perdagangan Indonesia lantaran tidak banyak komoditas yang menikmati fasilitas tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya kalau dilihat dari pengumuman itu lebih ke Countervailing Duty. Jadi skopnya itu sangat spesifik untuk CVDs dan CVDs selama ini di Indonesia hanya sekitar 5 komoditas yang menikmati itu. Jadi sebetulnya nggak terlalu besar sekali pengaruhnya kepada perdagangan kita," kata Sri Mulyani.
Dengan begitu, pemerintah dianggap harus negosiasi ulang dengan AS.
"Upaya paling soft memang negosiasi. Jadi negosiasikan, apakah memang (GSP) ini sudah layak untuk dicabut? karena beberapa aspek kan sebetulnya kita kalau dikatakan tingkat perdagangannya sudah maju, padahal porsi perdagangan total ekspor terhadap PDB sangat rendah," kata Ekonom Indef Eko Listiyanto kepada detikcom, Senin (24/2/2020).
Indonesia dianggap belum mampu bersaing dengan negara lain jika kehilangan fasilitas yang selama ini memudahkan Indonesia ekspor ke AS.
"Kalau kita merasa belum siap memperbaiki daya saing secara kualitas, dan lain-lain maka negosiasi menjadi jalan yang lebih soft untuk ke sana," sebutnya.
Baca juga: Ancaman Nyata Corona ke Ekonomi RI |
Simak Video "Video: Warga China Yakin AS Tak Akan Menang Perang Dagang Lewat Kebijakan Tarif"
[Gambas:Video 20detik]
(hek/eds)