Sederet Alasan RI Belum Layak Jadi Negara Maju

Sederet Alasan RI Belum Layak Jadi Negara Maju

Hendra Kusuma - detikFinance
Jumat, 28 Feb 2020 07:01 WIB
Nilai ekspor Indonesia terus mengalami penurunan. Akumulasi nilai ekspor Indonesia dari Januari-Agustus 2019 turun 8,28% dibandingkan tahun lalu.
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Ada banyak alasan yang membuat Indonesia belum layak menjadi negara maju, seperti yang diumumkan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR). Beberapa kalangan justru meminta pemerintah menolak pengubahan status tersebut.

USTR beberapa waktu lalu mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang dan dinyatakan sebagai negara maju dalam perdagangan internasional. Selain Indonesia, ada China, Brasil, India, dan Afrika Selatan yang 'naik level' jadi negara maju.

Ekonom senior Indef, Aviliani mengungkapkan banyak indikator yang membuat Indonesia tidak pantas menjadi negara maju seperti yang diumumkan oleh AS.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemerintah jangan bangga dulu, karena berdasarkan indikator kita tidak bisa masuk ke sana," kata Aviliani saat diskusi 'Salah Kaprah Status Negara Maju' di ITS Tower, Jakarta, Kamis (27/2/2020).

Aviliani menyebut penilaian AS yang menjadikan Indonesia sebagai negara maju kurang tepat meski Indonesia negara G20 yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi setelah China dan India.

ADVERTISEMENT

Dia bilang penilaian untuk pangsa pasar ekspor Indonesia yang di atas 0,5% memang benar. Sebab saat ini posisinya sudah berada di level 0,9%.

Namun untuk pertumbuhan ekonomi, menurut Aviliani lain cerita. Dengan pertumbuhan ekonomi di level 5%, angka tersebut bagi Indonesia sebenarnya masih sangat kecil. Jika diurutkan, peringkat Indonesia ada di urutan 120 dari 200 negara. Bahkan berdasarkan indikator World Bank, pendapatan per kapita Indonesia yang sebesar US$ 3.840 itu termasuk kategori kelas menengah-bawah.

Sederet Alasan RI Belum Layak Jadi Negara Maju

Khusus untuk pangsa ekspor, Aviliani bilang kontribusinya terhadap PDB Indonesia masih kecil yaitu sekitar 20-25% meski pangsa ekspornya sudah di atas 0,5%. Berbeda dengan Vietnam yang kontribusi ekspor terhadap PDB mencapai 105%.

Menurut peneliti dari Indef, Ahmad Heri Firdaus pengubahan status Indonesia menjadi negara maju dianggap hanya akal-akalan Amerika Serikat (AS). Perubahan status itu diyakini menjadi upaya AS untuk membenahi neraca perdagangannya yang banyak defisit termasuk dengan Indonesia.

"Indonesia memang secara total kita defisit, tapi sama AS neraca perdagangan kita surplus terus, mereka ini mau kurangi defisitnya," kata peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus dalam acara diskusi 'Salah Kaprah Status Negara Maju' di ITS Tower, Jakarta, Kamis (27/2/2020).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dengan AS surplus US$ 8,5 miliar sepanjang tahun 2019. Oleh karena itu, Heri menilai pemerintah harus menolak perubahan status tersebut. Pasalnya, banyak dampak pada perdagangan Indonesia ke depannya.

Dia pun bilang pemerintah memerlukan beberapa strategi untuk menolak perubahan status itu. Salah satunya adalah bekerja sama dengan negara yang dicoret sebagai negara berkembang untuk memprotes lewat persidangan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Penolakan harus segera dilakukan pemerintah, karena kata Aviliani pengubahan status Indonesia menjadi negara maju berdampak terhadap penghapusan beberapa keringanan tarif Countervailing Duties (CVD), Generalized System of Preferences (GSP), potongan bunga, dan de minimis margin subsidi perdagangan turun menjadi 1% terutama ke AS.

Dengan perubahan status itu juga, maka pemerintah AS dapat melakukan investigasi terhadap kebijakan perdagangan yang diterapkan Indonesia. Jika pemerintah terbukti memberikan insentif atau subsidi bagi produsen atau eksportir yang selama ini menyuplai produk ke negeri Paman Sam. Maka AS berhak menerapkan tarif bea masuk anti subsidi.

"Sehingga produk-produk Indonesia menyebabkan kurang kompetitif di pasar global," katanya.

Indonesia juga bisa menerima dampak ikutan dari negara mitra dagang lainnya yang ingin mengkaji kembali sistem perdagangannya. Indonesia terancam tidak lagi mendapatkan fasilitas GSP dari Australia, Kanada, Belarusia, Uni Eropa, Islandia, Jepang, Kazakhstan, Selandia Baru, Norwegia, Rusia, Swiss, hingga Turki.

Lalu Indonesia juga tidak lagi mendapatkan kemudahan dan fasilitas soft loan pinjaman luar negeri dengan pengubahan status sebagai negara maju.

Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad meminta pemerintah segera melayangkan surat kepada WTO dan menjelaskan status Indonesia yang masih menjadi negara berkembang.

"Merespons keputusan USTR ya pertama menurut saya pemerintah harus minta penjelasan, kirim surat resmi ke USTR tentang keputusan yang dihasilkan USTR tersebut," kata Tauhid.

(hek/fdl)

Hide Ads