Siapa yang pernah dengan salmon sashimi, atau malah pernah coba makan di restoran Jepang di Indonesia? Indonesia merupakan salah satu negara penikmat salmon, namun bukan penghasil.
Apakah Indonesia mau coba mengembangkan budi daya salmon?
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, di sela-sela kunjungan kerja ke Hobart, Tasmania, menyempatkan diri menengok salah satu pusat budi daya salmon terbesar di dunia. Pusat budi daya ini milik perusahaan Australia bernama Tassal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada kunjungan kali ini, Edhy ditemani para eselon satu dan staf khusus. Rombongan itu terdiri dari Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo, Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto, dan Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Sjarief Widjaja.
Selain itu hadir juga Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek dan Budaya Maritim Safri Burhanuddin, Penasihat Menteri KKP Rokhmin Dahuri, Wakil Ketua Bidang Sinergi Dunia Usaha KP2-KKP Agnes Marcellina Tjhin, dan Ketua KP2-KKP Effendi Gazali. Konsul Jenderal Melbourne Victoria Spica Alphanya Tutuhatunewa mengawal kunjungan tersebut.
Lalu apakah RI bisa mengembangkan salmon di dalam negeri.
"Indonesia tidak cocok untuk budi daya salmon, karena perairan kita hangat. Salmon itu hidup di air dengan suhu 16-28 derajat, sementara perairan kita itu 26 derajat," kata Edhy di pusat budidaya salmon milik Tassal, Hobart, Tasmania, Jumat (28/2/2020).
"Tapi kalau mau coba ya bisa saja," ungkapnya.
Jika memang RI ingin mencoba budidaya salmon, maka harus dicari lokasi yang punya suhu sesuai dengan habitat salmon. Bisa dicari daerah yang cukup dingin seperti misalnya di dataran tinggi Papua.
Namun dari pemilihan lokasi saja biaya sudah akan cukup besar. Belum lagi jika lokasinya jauh dari mana-mana akan membuat biaya logistik membengkak ketika melakukan pengiriman ke lokasi pembeli.
"Ikan itu sudah ada wilayahnya masing-masing, kita tidak punya salmon tapi kita punya baramundi, kerapu, bandeng, itu ikan-ikan bagus semua," tambah Edhy.
Pada kesempatan yang sama, Safri mengatakan Indonesia lebih baik mempromosikan bandeng dengan lebih baik ketimbang harus budi daya salmon. Lagipula, tambah Safri, gizi yang terkandung dalam bandeng itu jauh lebih banyak ketimbang salmon.
"Salmon itu karena marketingnya bagus sekali, jadi semua orang tahu. Sebenarnya kita juga bisa promosikan bandeng lebih baik lagi supaya bisa terkenal seperti salmon," kata Safri.
(ang/fdl)