"Kalau dilihat data kan stok cukup. Kita dulu sudah rilis awal Maret. By data stok akhir tahun ada 1.080.000 ton. Itu untuk mencukupi kebutuhan Januari sampai Mei sebelum giling," kata Nur kepada detikcom, Senin (13/4/2020).
Namun, pemerintah justru menerbitkan kuota impor gula yang secara total mencapai 988.000 ton, pertama 438.000 ton, lalu ditambah lagi 550.000 ton. Ia pun mempertanyakan larinya sejumlah stok gula tersebut. Pasalnya, saat ini stok gula masih langka di beberapa wilayah, harga pun melambung tinggi.
"Ini barangnya ke mana? Ini soal kelangkaan stok. Jadi kita juga mempertanyakan pemerintah kerjanya apa? Yang diberikan impor-impor itu juga ke mana?" ujar dia.
Mengenai sisa stok gula produksi petani tebu pada akhir Desember tersebut, ia mengaku seluruhnya sudah dijual ke pedagang. Sehingga, langkah selanjutnya yakni memasok ke pasar-pasar rakyat ada di tangan pedagang/distributor.
"Pada saat akhir giling, semenjak Oktober atau November itu petani sudah menjual ke pedagang. Petani habis giling kan pengolahan lahan lagi, tanam baru lagi. Dari penjualan gula itu gulanya dipakai untuk mengolah lahan lagi," terang Nur.
Dengan kondisi saat ini, pihaknya menduga ada permainan di level distributor. Ia menuturkan, kemungkinan di level distributor sengaja mengeluarkan stok gulanya sedikit demi sedikit sehingga harga gula naik. Nur menegaskan, dengan kebutuhan gula per bulan sekitar 230.000 ton, seharusnya para distributor atau pedagang bisa menjual gula dengan harga terjangkau karena stok sudah terpenuhi.
"Seharusnya cukup karena kebutuhan per bulan 230.000 ton. Saya merasa ini ada permainan dalam distribusi," pungkasnya.
(hns/hns)